Bantu Menghafal Al Qur'an

Headlines News :

    Sedekah Untuk Orang Tua

    Pasantren Subulun Najah

    Pasantren Subulun Najah

    Doa Nabi, Doa Terbaik

    Sungguh indah apa yang dinyatakan oleh Imam Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al Qurthubi rahimahullah, beliau mengatakan,
    فَعَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَسْتَعْمِلَ مَا فِي كِتَابِ اللهِ وَصَحِيْحِ السُّنَّةِ مِنَ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَاهُ وَلاَ يَقُوْلُ أَخْتَارُهُ كَذَا فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اخْتَارَ لِنَبِيِّهِ وَأَوْلِيَائِهِ وَعَلَّمَهُمْ كَيْفَ يَدْعُوْنَ
    ”Seyogyanya seorang menggunakan do’a-do’a yang tercantum dalam Al Qur-an dan berbagai hadits yang shahih (valid berasal dari nabi-peny) serta meninggalkan berbagai do’a yang tidak bersumber dari keduanya. Janganlah ia mengatakan, “Saya telah memilih do’a[2] sendiri (untuk diriku)”, karena Allah ta’ala telah memilihkan dan mengajarkan berbagai do’a kepada nabi dan para wali-Nya (dalam Al Qur-an dan sunnah nabi-Nya) ”.[3]
    Wejangan dan Kritik
    Perkataan beliau di atas merupakan wejangan sekaligus kritikan. Merupakan wejangan, karena beliau menasihati kita sebagai kaum muslimin untuk menggunakan berbagai do’a yang bertebaran di dalam Al Quran dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, karena berbagai do’a yang tercantum di dalam dua sumber tersebut merupakan wahyu yang nihil dari kesalahan.
    Perkataan beliau juga merupakan kritik bagi kita yang terkadang lebih mengedepankan do’a-do’a buatan yang tidak bersumber dari keduanya. Terkadang, dalam meminta kebaikan kepada-Nya, atau memohon agar dihindarkan dari keburukan, kita lebih memprioritaskan penggunaan do’a yang diperoleh dari guru-guru spiritual, mengesampingkan do’a-do’a yang besumber dari Al Quran dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Allah menginginkan untuk diminta dan Dia telah memberitahukan (berbagai macam) do’a di dalam kitab-Nya kepada makhluk-Nya. Begitu pula dengan nabi, beliau telah mengajar umatnya berbagai bentuk do’a. Do’a-do’a tersebut mengandung tiga hal, yaitu ilmu tauhid, ilmu bahasa, dan nasihat kepada umat ini. Oleh karena itu, seorang tidak boleh berpaling dari do’a yang diajarkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Sangat disayangkan saat ini), syaithan telah memperdaya manusia dari kedudukan yang agung ini, dia mendatangkan orang-orang jahat yang merekayasa berbagai do’a buatan untuk mereka, sehingga mereka pun sibuk untuk mengerjakan berbagai do’a tersebut dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[4]
    Do’a Nabi, Do’a Terbaik
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pribadi yang paling mengenal Allah, tentulah merupakan pribadi yang paling tahu kebaikan apa yang paling pantas diminta kepada Rabb-nya, demikian pula beliau tentulah mengetahui bentuk keburukan yang paling pantas untuk dihindari. Dengan demikian, seorang muslim tatkala meminta kebaikan kepada Allah dalam do’anya, hendaknya dia meminta sebagaimana permintaan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tatkala dia memohon perlindungan dari keburukan, hendaklah dia meminta layaknya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammeminta perlindungan kepada Allah ta’ala.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
    وينبغى للخلق أن يدعوا بالأدعية الشرعية التى جاء بها الكتاب والسنة فان ذلك لا ريب فى فضله وحسنه وأنه الصراط المستقيم صراط الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا
    “Manusia sepatutnya berdo’a dengan berbagai syar’i yang terdapat dalam Al Quran dan sunnah, karena tidak disangsikan lagi akan keutamaan dan kebaikannya. Sesungguhnya itulah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiiqiin, syuhada, dan shalihin, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”[5]
    Beliau juga mengatakan,
    لَا رَيْبَ أَنَّ الْأَذْكَارَ وَالدَّعَوَاتِ مِنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَاتِ وَالْعِبَادَاتُ مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ وَالِاتِّبَاعِ لَا عَلَى الْهَوَى وَالِابْتِدَاعِ فَالْأَدْعِيَةُ وَالْأَذْكَارُ النَّبَوِيَّةُ هِيَ أَفْضَلُ مَا يَتَحَرَّاهُ الْمُتَحَرِّي مِنْ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَسَالِكُهَا عَلَى سَبِيلِ أَمَانٍ وَسَلَامَةٍ وَالْفَوَائِدُ وَالنَّتَائِجُ الَّتِي تَحْصُلُ لَا يُعَبِّرُ عَنْهُ لِسَانٌ وَلَا يُحِيطُ بِهِ إنْسَانٌ وَمَا سِوَاهَا مِنْ الْأَذْكَارِ قَدْ يَكُونُ مُحَرَّمًا وَقَدْ يَكُونُ مَكْرُوهًا وَقَدْ يَكُونُ فِيهِ شِرْكٌ مِمَّا لَا يَهْتَدِي إلَيْهِ أَكْثَرُ النَّاسِ
    ”Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do’a termasuk ibadah yang utama dan ibadah terbangun di atas pondasi tauqif  (terima jadi dari pembuat syari’at-peny) dan ittiba’ (mengikuti aturan syari’at-peny), bukan mengikuti keinginan pribadi dan ibtida’ (membuat-buat sendiri). Dengan demikian berbagai do’a dan dzikir yang dituntunkan oleh nabi merupakan bentuk yang terbaik. Orang yang mengikuti tuntunan nabi dalam berdo’a dan berdzikir berada di atas jalan keamanan dan keselamatan. Berbagai faedah dan buah yang dipetik (oelehnya) tidak dapat diungkapkan oleh lisan dan tidak dapat diketahui oleh manusia. Adapun berbagai dzikir selain yang dituntunkan nabi terkadang berstatus haram, makruh atau bahkan berstatus kesyirikan(yang sangat disayangkan) betapa banyak orang yang tidak memperoleh petunjuk dalam hal ini.”[6]
    Satu pertanyaan penting yang patut dijawab,
    Bagaimana bisa seorang muslim meninggalkan berbagai keutamaan dan kebaikan yang telah nyata terdapat dalam do’a-do’a yang tercantum dalam Al Quran dan lebih mengutamakan untuk memanjatkan do’a kepada-Nya dengan berbagai do’a yang dibuat-buat oleh tuan guru, kyai, ustadz, dan semisalnya, padahal belum jelas keutamaan dan kebaikan dari do’a mereka tersebut?!”
    Nabi dan Sahabat pun Memperhatikan
    Perhatian terhadap penggunaan berbagai lafadz do’a yang syar’i juga dapat kita petik dari tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka pun turut mengingkari penggunaan do’a-do’a yang direkayasa karena mengandung mudharat. Berikut beberapa contoh akan hal tersebut:
    • Di dalam hadits diterangkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan do’a kepada para sahabatnya sebagaimana beliau mengajarkan satu surat kepada mereka[7]. Beliau mengajarkan mereka untuk memperhatikan pengucapan huruf, urutan kata di dalam do’a, melarang mereka untuk menambahi atau mengurangi, menghimbau untuk mempelajari dan menjaga lafadz do’a yang diajarkan beliau.[8]
    • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang yang sakit mendadak sehingga badannya pun melemah. Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Apakah engkau berdo’a atau meminta dengan lafadz do’a tertentu?” Pria tersebut menjawab, “Benar, saya memanjatkan do’a dengan lafadz berikut: “Wahai Allah, segala adzab yang Engkau sediakan untukku di akhirat, segerakanlah di dunia ini.” Nabi pun berkata, “Subhanallah, engkau tidak akan mampu memikulnya, mengapa engkau tidak mengucapkan, “Wahai Allah berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa api neraka.” Anas mengatakan, “Pria tersebut berdo’a dengan do’a tersebut dan Allah pun memberi kesembuhan kepadanya.”[9]
    Perhatikan! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur sahabat di atas karena do’a yang dipanjatkannya, do’a yang murni berasal dari dirinya sendiri mengandung kemudharatan meski motivasi sahabat memanjatkan do’a tersebut dikarenakan rasa takut beliau terhadap siksaan di akhirat kelak.
    • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajari sahabat Al Barra bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu do’a tidur dengan lafadz berikut,
    اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِى إِلَيْكَ ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ ، رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ
    “Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu,menghadapkan wajahku kepada-Mu, menyerahkan semua urusanku kepada-Mu, menyandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari ancaman-Mu kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab yang Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau utus.”
    Ketika Al Barra mencoba menghafal do’a di atas, beliau keliru dan mengganti lafadz [نَبِيِّكَ] dengan   [رَسُولِكَ], nabi pun menegur dan mengoreksinya.[10] Hal ini menunjukkan perhatian nabi terhadap penggunaan do’a yang sesuai dengan tuntunan beliau, tanpa disertai tambahan dan pengurangan.
    Imam Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
    وأولى ما قيل في الحكمة في رده صلى الله عليه وسلم على من قال الرسول بدل النبي ان ألفاظ الأذكار توقيفية ولها خصائص وأسرار لا يدخلها القياس فتجب المحافظة على اللفظ الذي وردت به
    “Hikmah yang paling utama dari tindakan penolakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang mengucapkan lafadz rasul sebagai ganti lafadz nabi bahwasanya lafadz-lafadz dzikir adalah tauqifiyah (harus mengikuti dalil, ed) dan memiliki berbagai kekhususan dan rahasia yang tidak bisa diketahui oleh akal, sehingga wajib menggunakan berbagai lafadz do’a yang disyari’atkan (baca: terdapat dalam Al Quran dan sunnah).”[11]
    • Para sahabat justru mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mengajarkan do’a kepada mereka, padahal mereka adalah kaum yang berilmu dan fasih dalam berbahasa. Tengoklah permintaan Abu Bakr ash shiddiq radhiallahu ‘anhu yang meminta nabishallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan sebuah do’a untuk dia ucapkan di dalam shalat.[12]
    • Imam Ahmad meriwayatkan dan selainnya dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu ‘anhu, dia mendengar anaknya tengah bermunajat dengan do’a berikut,
    اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا
    “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu istana putih di surga bagian kanan jika aku memasukinya.”
    Abdullah bin Mughaffal pun mengoreksi anaknya,
    أَىْ بُنَىَّ سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّهُ سَيَكُونُ فِى هَذِهِ الأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِى الطُّهُورِ وَالدُّعَاءِ
    “Wahai anakku, cukup engkau meminta jannah kepada Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya dari api neraka. Sesungguhnya aku mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo’a.”[13]
    Perhatikan pengingkaran Ibnu Mughaffal radhiallahu ‘anhu terhadap do’a yang dipanjatkan anaknya, yang merupakan hasil rekayasa sang anak. Hal ini menunjukkan pada kita, do’a yang tidak bersumber dari Al Quran dan sunnah rentan keliru.
    Dampak Negatif Penggunaan Do’a dan Dzikir yang Diada-adakan
    Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa yang merenungkan realitas sebagian kaum muslimin, terlebih mereka yang berafiliasi kepada sebagian tarekat sufi, akan menjumpai bahwa mereka sibuk mengerjakan berbagai macam dzikir dan do’a yang diada-adakan (baca: bid’ah). Mereka pun membacanya siang dan malam, sepanjang pagi dan petang. Dengan sebab itu, mereka pun meninggalkan (do’a-do’a) yang terdapat dalam Al Quran, berpaling dari berbagai do’a yang berasal dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap tarekat memiliki wirid-wirid khusus yang dibaca dengan metode tertentu, sehingga setiap tarekat sufi memiliki kumpulan wirid dan hizb khusus, setiap kelompok saling membanggakan wirid dan hizib yang dimiliki dan berkeyakinan bahwa wirid tersebut lebih afdhal daripada wirid yang dimiliki tarekat sufi yang lain.”[14]
    Serupa dengan penuturan Syaikh Abdurazzaq, pemaparan yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad al Khidr bin Mayabi Asy Syinqithi dalam kitab beliau “Musytahil Kharifil Janni fii Raddi Zalaqaatit Tijanil Janni”, tatkala membantah kaum sufi Tijani.
    Beliau mengatakan, “Sesungguhnya mereka (kaum Tijani) gemar terhadap sesuatu yang asing (yang tidak berasal dari agama ini, pent-). Oleh karena itu, anda dapat melihat mereka lebih senang untuk bershalawat dengan menggunakan lafadz-lafadz shalawat yang terdapat dalam kitab Dalaa-iul Khairaat dan yang semisalnya, padahal sebagian besar riwayat tersebut tidak memiliki sanad yang shahih. Anda pun dapat melihat mereka benci untuk menggunakan berbagai lafadz shalawat yang diriwayatkan secara shahih dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tercantum dalam Shahih Bukhari. Tidak akan anda temui seorang pun dari para ulama yang berwirid dengan lafadz-lafadz shalawat dari kitab tersebut (Dalaa-ilul Khairaat-pent). Perbuatan yang mereka lakukan itu tidak lain disebabkan karena kegemaran mereka terhadap sesuatu yang asing (bid’ah). Adapun jika kebenaran itu terlihat, tentulah seorang yang berakal, terlebih seorang ulama, tidak akan berpaling dari lafadz shalawat yang shahih dan berasal dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dirinya malah beralih kepada lafadz shalawat yang tidak terdapat dalam hadits shahih, atau bahkan beralih pada lafadz shalawat yang bersumber dari mimpi-mimpi orang yang sekilas terlihat shalih.”[15]
    Demikianlah keadaan kaum muslimin yang terjadi saat ini. Mereka lebih mengutamakan do’a dan dzikir yang diajarkan dan dituntunkan oleh syaikh, guru, ustadz, atau kyai mereka tanpa memperhatikan bersumber dari mana do’a dan dzikir tersebut. Padahal sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Sesuatu yang bertentangan dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas merupakan suatu keburukan dan memiliki dampak negatif. Tidak terkecuali dengan berbagai ragam do’a dan dzikir bid’ah ini. Diantara dampak negatif hal tersebut adalah sebagai berikut:
    • Do’a dan dzikir yang bid’ah tidak mampu memenuhi tujan peribadatan, yaitu menyucikan dan membersihkan hati dari berbagai kotoran, tidak mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang bersarang di dalam hati, apatah lagi mendekatkan hati kepada sang Pencipta. Berbeda halnya dengan do’a dan dzikir yang bersumber dari Al Quran dan hadits yang shahih, do’a dan dzikir yang bersumber dari keduanya merupakan obat yang sangat berguna untuk menghilangkan berbagai kotoran dan penyakit di dalam hati. Dengan demikian orang yang lebih memilih untuk menggunakan berbagai do’a dan dzikir yang bid’ah, adalah mereka yang lebih memilih sesuatu yang hina sebagai ganti dari sesuatu yang lebih baik.
    • Do’a dan dzikir bid’ah tersebut menjadikan pelakunya terluput dari pahala besar yang disediakan bagi mereka yang konsisten mengerjakan dan menerapkan dengan benar berbagai do’a dan wirid yang bersumber dari Al Quran dan sunnah. Mereka yang mengerjakan berbagai do’a dan dzikir bid’ah tersebut tidak mendatangkan pahala dan manfaat bagi, justru mereka memperoleh kemurkaan Allah ta’ala atas perbuatannya tersebut.
    • Do’a yang diada-adakan (bid’ah) bertentangan dengan syari’at, oleh karenanya sangat sulit terkabul, padahal tujuan dari berdo’a adalah agar permohonan kita dikabulkan. Mengapa do’a yang bid’ah tertolak? Karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
    “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak dituntunkan dalam agama, maka amalannya tersebut tertolak.”[16]
    • Berbagai do’a dan dzikir yang bid’ah pada umumnya mengandung berbagai perkara yang mungkar, entah karena dipraktekkan dengan keliru dan tidak pada tempatnya, sebagai perantara kesyirikan, mengandung tawassul bid’ah, atau bahkan kesyirikan yang nyata karena memanjatkan permintaan yang hanya pantas ditujukan kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Contoh akan hal ini seperti qasidah dalam kitab Syawahidul Haqq[17]karya Yusuf An Nabhani ash Shufi,
    يا رسول الإله إني ضعيف              فاشفعني أنت مقصد للشفاء
    يا رسوا لإله إن لم تغثني                 فإلى من ترى يكون التجائي
    Wahai rasulullah, sesungguhnya aku tidak berdaya
    Maka berilah syafaat untuk diriku, dirimulah harapanku untuk sembuh
    Wahai rasululah, jika engkau tidak menolongku
    Kepada siapa lagi aku berlindung[18]
    • Orang yang mempraktekkan do’a dan dzikir bid’ah dan meninggalkan tuntunan Allah dan rasul-Nya telah membarter kebaikan dengan keburukan, mengganti sesuatu yang bermanfaat dengan yang berbahaya, dan tidak disangsikan lagi hal ini tentu merupakan kerugian yang teramat nyata.
    • Seorang yang rutin mengerjakan berbagai do’a dan dzikir yang bid’ah pada umumnya tidak tahu akan maknanya dikarenakan berbagai wirid tersebut tersusun dari berbagai ungkapan yang asing dan tidak jelas. Padahal yang dituntut dalam berdo’a dan berdzikir adalah menghadirkan hati dan ikhlas. Bagaimana bisa hal itu tercapai jika kita tidak tahu akan makna do’a dan dzikir yang dipanjatkan?!
    Seorang yang berdo’a namun tidak tahu akan makna do’a yang dipanjatkan tidak bisa dikatakan dia sedang meminta atau berdo’a kepada Allah, karena dia tidak tahu apa yang sedang diminta, dia seperti seorang yang hanya menuturkan perkataan orang lain. Renungkanlah!
    Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

    Neraca Maslahat Dalam Melarang Amalan Bid’ah Menurut Ibnu Taimiyyah

    Bid’ah adalah keyakinan atau perbuatan yang bertentangan dengan al Qur`an, Sunnah dan Ijmak (Ibnu Tamiyyah). Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sangat mewanti-wanti umatnya agar menjauhi perbuatan bid’ah. Hadis-hadisnya sangat terkenal. Para ulama dari kalangan para sahabat, tabi’iin, taabi’u at-tabiin dan setelah mereka hingga saat ini juga telah banyak menjelaskan larangan mengada-ngada dalam agama, baik dalam urusan keyakinan maupun urusan amal perbuatan.
    Tidak diragukan lagi, bahwa bid’ah termasuk kategori kemungkaran yang harus dirubah dan diingkari, manakala ia terjadi pada sebuah masyarakat muslim. Membiarkannya sama dengan membiarkan kemungkaran atau pelanggaran lainnya dalam agama. Bahkan, bid’ah menurut sejumlah para ulama lebih berat dari maksiat.
    Seolah menjadi niscaya, dari sejak masa para sahabat seninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bid’ah dalam agama telah muncul dan terus ada hingga saat ini. Dengan beragam bentuk dan prakteknya, bid’ah telah sangat menjamur dalam kehidupan beragama masyarakat muslim. Semakin jauh dari ilmu dan bimbingan para ulama rabbani yang dalam keilmuannya, biasanya praktek bid’ah kian merajalela.
    Bid’ah bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada bid’ah mukaffirah (berkonsekwensi kafir) atau ghair mukaffirah (tidak berkonsekwensi kafir), ada bid’ah dalam akidah ada juga dalam ibadah, ada bid’ah asliyyah ada juga bid’ah idhafiyyah. Diantara bid’ah yang sering terjadi adalah, kebid’ahan yang bercampur dengan perbuatan yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara asal. Dari satu sisi bid’ah, dari sisi yang lain sesuai sunnah. Dari satu sisi tidak ada dalilnya, namun dari sisi yang lain didukung oleh dalil. Dari sinilah terkadang, keputusan untuk merubah dan melarang suatu praktek bid’ah juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang penulis sebut dengan neraca maslahat.
    Diantara salah satu ulama yang terkenal tegas dengan lisan dan tulisannya dalam mengungkap dan menjelaskan bentuk-bentuk dan praktek-praktek kebid’ahan adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Namun demikian, beliau ternyata memiliki suatu pandangan yang bijak, bervisi maslahat dan tidak serampangan dalam berinteraksi dengan praktek bid’ah yang muncul di tengah-tengah kaum muslimin. Dasar-dasar maqashid syari’ah, dalam hal ini, menjadi pijakan beliau dalam memutuskan apakah suatu perbuatan bid’ah yang muncul harus dilarang secara langsung atau tidak. Berikut penulis nukilkan pandangan beliau dalam hal ini:
    ولهذا لما تغير الناس وصاروا يفعلون بدعة ويتركون شرعة، وفي البدعة مصلحة ما إن تركوها ذهبت المصلحة ولم يأتو بالمشروع، صار الواجب أمرهم بالمشروع المصلح لتلك المصلحة مع النهي عن البدعة، وإن لم يمكن ذلك فعل ما يمكن وقدم الراجح. فإذا كانت مصلحة الفعل أهم لم ينه عنه لما فيه من المفسدة إلا مع تحصيل المصلحة، وإن كانت مفسدته أهم نهي عنه.
    “Oleh karena itu, tatkala manusia telah berubah menjadi gemar melakukan bid’ah dan meninggalkan yang disyariatkan, sementara dalam suatu perbuatan bid’ah terdapat suatu maslahat yang jika mereka meninggalkan perbuatan bid’ah itu, kemaslahatan tersebut pun akan ikut hilang dan mereka pun tidak melakukannya sesuai syariat. Maka, dalam kondisi ini, yang wajib adalah memerintahkan mereka kepada perbuatan yang disyariatkan yang dapat mewujudkan kemaslahatan tadi dan melarang dari perbuatan bid’ah. Namun, jika hal itu tidak mungkin, maka kerjakanlah yang memungkinkan dan dahulukan yang lebih utama. Jika maslahatnya lebih besar, maka perbuatan itu tidak dilarang, karena walaupun padanya ada kerusakan, namun juga dapat mewujudkan maslahat. Jika kerusakannya lebih besar, maka hal itu dilarang.”
    وهذه الوقوف التى على الترب فيها من المصلحة حفظ القرآن وتلاوته، وكون هذه الأموال معونة على ذلك وحاضة عليه، إذ قد يدرس حفظ القرآن في بعض البلاد بسبب عدم الأسباب الحاملة عليه، وفيها من مفاسد أخر: من حصول القراءة لغير الله، والتآكل بالقرآن، وقراءته على غير الوجه المشروع، واشتغال النفوس بذلك فالواجب النهي عن ذلك والمنع من وإبطاله، وإن ظن  حصول مفسدة أكثر من ذلك لم يدفع أدنى الفسادين باحتمال أعلاهما.
    Dan membaca al Qur`an di kubur dengan upah tertentu, padanya terdapat maslahat, yaitu berlangsungnya kegiatan menghapal al Qur`an dan membacanya, harta ini pun (upah membaca al Qur`an) menjadi mendorong dan motivasi untuk hal itu. Karena terkadang, kegiatan menghapal Al Qur`an dapat punah di sebagian daerah disebabkan karena tidak ada sarana ke arah sana. Namun, dalam hal ini juga terdapat kerusakan-kerusakan, diantaranya: membaca al Qur`an bukan karena Allah, mencari makan dengan al Qur`an, membacanya dengan cara yang tidak disyariatkan dan sibuk dengan hal itu dari bacaan yang disyariatkan. Maka, jika dimungkinkan mewujudkan maslahat ini tanpa semua itu, wajib untuk melarang semua perbuatan tersebut dan menghilangkannya. Namun jika diperkirakan kerusakan yang timbul lebih besar dari itu, maka suatu kerusakan tidak dicegah, dalam keadaan diperkirakan akan memunculkan kerusakan yang lebih besar.” (Jaami’ul Masaa`il: Vol. 3, hal. 134, tahqiq: Muhammad Aziz Syams)
    Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad,,

    Malam Jum’at, 26 Syawwal 1435 H (21/08/2014)

    Larangan Mencela

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah” dengan fasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan, bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi gelar-gelar buruk kepada sesama.
    Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
    Larangan Mencela
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
    “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
    “Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
    Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
    “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
    Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
    “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
    Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
    الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
    “Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
    Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
    Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25, Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
    Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
    Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya. Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
    “Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”, jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam perkataannya.
    Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya, hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh, menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh. Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya, mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al Maktabah as Salafiyyah)
    Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
    Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
    (1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
    (2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
    Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
    وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
    “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’aam [6]: 108)
    Menyoal Kenyataan
    Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun, celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah yang diperbolehkan.
    Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26 dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
    Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini, mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad mereka, bukan karena hawa nafsu.
    Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
    Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
    Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
    Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
    Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
    As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
    Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.” (Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
    Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya), adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah: 1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
    Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih (jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang mengambil pendapat tersebut.
    Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata, maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
    Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.

    Abu Khalid Resa Gunarsa – Rancabogo, Subang, 27 April 2013

    Makna Takwil, Itsbat, Tafwidh dan Tajsim

    Berikut ini adalah penjelasan mengenai beberapa terminologi dalam ilmu akidah, khususnya pada pembahasan akidah al asmaa` wa al shifaat, ditulis oleh Ust. Nidhol Masyhud (Babanya Shofia) di Grup FB Forum Diskusi Hadits, semoga bermanfaat.
    1. TAKWIL

    Ungkapan Takwil sudah digunakan oleh Quran dan Sunnah. Dalam Quran dan Sunnah, pengertiannya berkisar pada “wujud/kenyataan”. Bila takwil itu dikaitkan dengan sebuah berita, maka takwil sebuah berita adalah wujud nyata dari apa yang diberitakan (termasuk takwil mimpi). Bila takwil itu dikaitkan dengan perintah, maka takwil dari sebuah perintah adalah perwujudan nyata berupa pelaksanaan perintah tersebut.

    Nah, di era Salaf, istilah ini juga digunakan untuk menyebut “penjelasan tentang kenyataan”, atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah “Tafsir”. Mentakwil suatu nash berarti menafsirkan atau menjelaskan kandungan dari sebuah berita atau perintah yang dikandung oleh nash tersebut.

    Di era belakangan, istilah Takwil digunakan pula untuk penafsiran yang jauh dari teks asal. Inilah pengertian takwil yang kemudian populer di Ushul Fiqih dan Ilmu Kalam, yaitu memalingkan suatu teks dari kemungkinan artinya yang dekat kepada kemungkinan artinya yang jauh, atau memalingkan suatu teks dari pengertian asalnya (lahiriah) kepada pengertian lain yang tidak dapat dipahami hanya dari teks itu sendiri.
    Nah, konsep Takwil memiliki banyak kerumitan, sebab konsep ini terkait dengan dua hal yang cukup rumit dan telah menjadi ambigu, yaitu “ihtimal” dan “zhahirun nash”. Ihtimal adalah bahwa sebuah makna itu MUNGKIN dikandung oleh kata yang sedang dibahas, dan Zhahir berarti arti yang muncul secara MENGEMUKA dari kata tersebut. Persoalannya adalah: Zhahir dan Ihtimal di situ parameternya apa? Dan, apakah yang dimaksud dengan Zhahir dan Ihtimal itu adalah Zhahir dan Ihtimal dari suatu kata ketika dipisahkan dari konteks wicarnya, ataukah ketika ia telah berada dalam konteksnya sebagaimana digunakan oleh nash yang tengah dibahas. Pembahasan ini punya kaitan erat dengan kontroversi Teori Majaz (walaupun tetap bisa dibahas tanpa harus membahas teori Majaz itu sendiri).
    2. ITSBAT
    Dalam dunia kajian Asma’ wa Shifat Allah SWT, istilah “Itsbat Shifat” berarti menetapkan suatu shifat sebagai shifat (atribut) Allah. Meng-itsbat shifat qudrah (kemampuan), misalnya, berarti menyatakan bahwa qudrah ini adalah suatu atribut yang dimiliki oleh Allah SWT, dan bahwa ia merupakan atribut yang unik (punya identitas tersendiri) sehingga bukan merupakan nama lain dari dzat (Allah SWT) dan bukan pula merupakan nama lain dari atribut-atribut lainnya yang bukan merupakan padanan/sinonimnya.
    Nah, demikian pula halnya dengan atribut-atribut yang ramai dipersoalan. mengitsbat atribut wajhun (wajah) dan yadun (tangan) berarti menetapkan bahwa wajhun dan yadun ini merupakan atribut Allat SWT (wajah Allah dan tangan Allah), sekalugus menetapkan bahwa wajhun itu bukan yadun dan keduanya bukan merupakan nama lain dari dzat Allah, bukan nama lan dari atribut-atribut lainnya (seperti qudrah, ilmu, dst), serta tentu saja bukan merupakan nama lain dari makhluk-makhluk Allah SWT (kontras, misalnya, dengan kalangan yang manafsirkan yadullah sebagai ni’matullah yang berarti suatu makhluk).
    Inilah konsep Itsbat yang pengertiannya jelas berbeda dengan Takwil dan Tafwidh. Takwil dan tawfidh dibangun oleh keyakinan bahwa suatu atribut itu bukan merupakan atribut Allah SAW, atau dibangun dari sebuah keraguan apakah ia memang merupakan atribut Allah atau bukan, atau juga dibangun dari keyakinan bahwa itu merupakan atribut Allah SWT tetapi diyakini/dimungkinkan bahwa atribut itu adalah nama lain saja dari atribut lainnya yang sudah diistbat.
    Dalam sejarah, kalangan Itsbat ini berasal dari Ahlul Hadits dan sebagain generasi senior Ahlul Kalam, yang sering pula dikenal dengan sebutan “kalangan Ash-Shifaathiyyah”, meskipun pada rinciannya ada beberapa perbedaan. Tokoh-tokohnya dari para senior Mutakallimin adalah semisal Ibnu Kullab, Al-Qalanisi, Al-Muhasibi, Al-Asy’ari, dan Al-Baqillani. Di lingkungan Asy’ariyyah, mayoritas asy’ariyyah mengitsbat tujuh atribut (qudrah, iradah, ilmun, hayah, sama’, bashar, kalam). Di samping atribut ini, kalangan mutaqaddimin Asy’ariyyah semisal Abul Hasan, Al-Baqillani, dan Al-Baihaqi juga mengitsbat beberapa atribut lainnnya, semisal wajhun (wajah) dan yadaan (dua tangan). Adapun kalangan mutaakhkhirin, mereka rata-rata menafikan atau meragukan atribut-atribut ini (khususnya Ar-Razi dan Al-Amidi). Kemudian, ada pula As-Sanusi yang membakukan penambahan itsbat 7 atribut lanjutan, yaitu kaunuhu qadiran, muridan, hayyan, sami’an, bashiran, dan mutakalliman. Inilah makanya konsep yang kemudian dikenal di banyak lingkungan Asy’ariyyah zaman ini adalah konsep shifat 20, meskipun dasar konsep itu ditentang oleh jumhur mutakallim asy’ariyyah.
    3. TAFWIDH
    Istilah ini saya kenal pertama digunakan oleh Al-Juwaini dalam Nizhamiyyah, ketika beliau membantah keras sikap Takwil dan menganjurkan Tafwidh yang dinisbahkan sebagai madzhab Salaf. Tetapi di situ tidak dirincikan apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh Al-Juwaini dengan Tafwidh ini. Sebelum Al-Juwaini, sudah ada Al-Barbahari yang menggunakan istilah ini dalam Syarhus Sunnah, tetapi juga tidak dengan penjelasan yang memadai untuk mengetahui apa rinciannya yang dimaksudkan dengan Tafwidh ini (apalagi beliau sandingkan dengan ungkapan tashdiq, taslim, dan ridha).
    Nah, kemudian Al-Ghazali dalam Iljamnya (ketika membantah keras sikap Takwil) mencetuskan konsep ‘tafwidh’ secara detail dan jelas definisi operasionalnya, sekaligus menisbahkannya kepada Salaf. Beliau mungkin tidak menggunakan istilah Tafwidh, melainkan Sukut, Imsak, Kaff, dan Taslim. Akan tetapi, yang nantinya dimaksudkan oleh banyak ulama sebagai tafwidh ya sikap yang seperti dimaksudkan oleh Al-Ghazali ini. Di sinilah, konsep ‘Tafwidh’ itu memiliki definisi yang jelas dengan konsep Itsbat Shifat. Tafwidh terhadap ayat/hadits ttg shifat Allah SWT berarti sikap untuk diam, tidak membicarakannya, tidak mentakwilkannya, tidak menafsirkannya, tidak menerjemahkannya, tidak mengaitkannya dengan nash-nash yang sejenis, serta bahkan tidak menggunakan derivasinya. Dan menurut Al-Ghazali, sikap ini wajib ditempuh oleh orang awam serta juga oleh orang alim dalam berbicara kepada orang awam, bahkan perlu juga ditempuh dalam pembicaraan sesama orang alim. Contoh tokoh asy’ariyah yang membantah sikap tafwidh seperti ini adalah Ibnu Furak.
    Pada era Ar-Razi, konsep dan istilah Tafwidh menemukan pembakuannya, yaitu berpijak pada sikap Tawaqquf. Lebih dari itu, Ar-Razi berupaya untuk mengharmoniskan sikap Tafwidh ini dengan sikap Takwil (berbeda dengan para pendahulunya). Kalau tidak salah, pilihan yang ditempuh oleh Al-Amidi pun demikian adanya. Dalam kerangka inilah tokoh semisal Ibnu Taimiyyah itu membantah Tafwidh dan Takwil, yaitu Tafwidh yang dilandasi oleh sikap tawaqquf dan Takwil yang dilandasi oleh sikap nafy, di samping beliau juga membantah sikap Tasybih dan Takyif, yaitu tasybih yang dilandasi sikap mengkiaskan khasaish dan takyif yang dilandasi perincian tanpa dalil.
    4. TAJSIM
    Tajsim berarti “men-jism-kan”, yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu “jism”? Ini titik rumitnya.
    Ungkapan “jism” pada asalnya dalam bahasa Arab berarti jasad. Jism manusia adalah jasadnya (yang berbeda dengan ruhnya). Dari ungkapan ini, kemudian juga diturunkan ungkapan sifat yang berarti “besar”. Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.
    Ada yang menggunakan istilah “jism” dalam pengertian “sy-syai'” (sesuatu), dalam pengertian “al-maujud” (entitas), dalam pengertian “al-qaaim bin-nafs” (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian “al-musyaar ilaih” (sesuatu yang bisa ditunjuk).
    Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian “ath-thawil al-`aridh al-`amiq” (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian “al-muhtamil lil-a`raadh” (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), “ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-a’la wa-asfal” (entitas bersisi enam).
    Dan, adapula yang menggunakan istilah “jism” ini adalah pengertian “al-muallaf minal ajzaa'” (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian “al-jauhar ma’a a`raadhih” (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian “majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujamma’ah” (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).
    Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya “al-maujuud”), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya “majmuu`atul a`raadh”), ada yang dipertentangkan (misalnya “al-musyaal ilaih”), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.

    Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai “jism”, ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai “bukan jism”, dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai “jism” maupun “bukan jism”. Perdebatan seputar tajsim pun hanya akan menjadi tuntas jika dibahas dari kedua sisi, yaitu sisi penggunaan istilah, dan sisi maknawi yang dimaksud dengan istilah ini. Sisi kedua inilah yang lebih efektif untuk diperdebatkan.

    Watak Dasar Manusia

    Oleh : Ustadz. Nidhol Masyhud. Lc / Fb : Babanya Shofia
    Dalam filsafat kuno, manusia didefinisikan sebagai “animal rationale” alias “hewan (dalam arti makhluk hidup) yang berakal”. Oleh sebagian kalangan, manusia didefinisikan sebagai “animal loquens” atau “animal symbolicum”, yaitu hewan yang berbahasa. Akan tetapi, definisi-definisi ini tidaklah persis. Banyak manusia yang mengalami keterbatasan sehingga tidak berakal atau berpikir dan tidak berbahasa atau berkomunikasi melebihi pemikiran dan komunikasi ala binatang, tanpa mereka harus kehilangan identitasnya sebagai “manusia”. Sebaliknya, jin dan malaikat adalah makhluk hidup yang juga berpikir dan berbahasa (serta beraktivitas dan beremosi), padahal mereka bukanlah manusia. Jadi, definisi semacam ini tidaklah persis membatasi apa dan siapa saja yang disebut sebagai manusia.

    Manusia lebih tepat didefinisikan sebagai “Adam AS dan keturunannya”. Definisi ini sederhana, namun persis dan praktis. Semua anak keturunan Nabi Adam adalah manusia dan semua manusia setelah generasi pertama adalah anak keturunannya. Bahkan, Hawa sebagai perempuan pertama pun diciptakan dari tulang rusuknya. Kita tidak mengenal manusia di luar Adam-Hawa dan keturunannya. Teori Evolusi Biologi yang meskipun kontroversial dan mengandung banyak kesalahan pun turut mengindikasikan bahwa semua komunitas manusia di bumi ini adalah hasil perkembangan biak dari hanya satu pasang homo sapiens. Dalam Al-Quran sendiri, Allah SWT kerap memanggil manusia dengan sebutan “bani Adam”. Sebutan ini sudah cukup mencakup serta memilah spesies manusia (insan) dari malaikat, jin, binatang, dan makhluk-makhluk lainnya.

    Ada yang amat penting setelah mendefinisikan manusia, yaitu mengenal watak dasarnya. Dengan mengenal watak dasar ini, kita sebagai manusia dapat menyadari hakikat, derajat, kualitas, serta arah perjalanan diri kita. Dengan mengenal watak dasarnya, akan jelas bagi seorang insan—setelah menyadari fungsi dan tugasnya di dunia ini—apa saja aspek-aspek dalam dirinya yang merupakan kekuatan dan kelemahan yang harus ia kelola dengan cermat serta apa saja peluang maupun hambatan di sekelilingnya yang harus ia sikapi secara tepat. Maka, tak heran bila kemudian Al-Quran kerap sekali menyoroti hal ini. Setidaknya, dalam empat puluh ayat Al-Quran telah menyinggung watak-watak dasar insan. Al-Quran juga menjelaskan apa pengaruh watak dasar ini terhadap sikap dan nasib manusia serta bagaimana menghadapinya.

    Nah, ada hal penting yang amat mencolok di sini, yaitu ternyata puluhan ayat Al-Quran tersebut menegaskan bahwa watak-watak dasar manusia adalah hal-hal yang amat negatif. Pada mayoritas puluhan ayat itu, Al-Quran menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang diciptakan dengan karakter alami berupa sifat-sifat yang buruk. Dalam Al-Anbiyâ': 37 dan Al-Isrâ’: 11 dijelaskan bahwa manusia suka tergesa-tergesa, mudah memutuskan dan bertindak atau nekad melawan dan menantang tanpa berpikir matang. Dalam Al-Ma`ârij: 19 dijelaskan pula bahwa manusia diciptakan dengan watak dasar egois, suka berkeluh kesah dan berputus asa kala ditimpa musibah namun angkuh dan enggan berbagi kala mendapatkan karunia. Egoisme dan ketergesaan ini pun semakin paten dengan adanya watak gemar mendebat (mengeyel) sebagaimana ditegaskan oleh Al-Kahfi: 54 dan watak kikir pelit sebagaimana ditandaskan oleh Al-Isrâ': 100.

    Ketergesaan mengakibatkan pengabaian akan kualitas masa depan, sementara egoisme menghancurkan kesadaran untuk memaklumi dan menyikapi secara positif keadaan yang tengah berjalan. Pengeyelan memunculkan keengganan untuk menerima kebenaran, sedangkan kekikiran meniscayakan rendahnya kepekaan sosial. Sifat tergesa-gesa yang dibarengi dengan mudah mengeyel tentu berbuah kebodohan yang ujungnya adalah berkata tanpa tahu, bertindak tanpa ilmu, serta menolak atau setuju tanpa mengerti ini-itu. Adapun egoisme yang diiringi dengan kekikiran akan melahirkan kesewenangan yang isinya adalah pengabaian hak-hak dan kewajiban serta penerjangan berbagai aturan dan larangan. Kebodohan (al-jahl) dan kesewenangan (azh-zhulm) inilah dua watak amat negatif yang merupakan pangkal segala bencana. Dengan kedua watak negatif inilah, manusia nekad menyanggupi tugas tetapi tidak becus menjalankannya. Allah SWT mengingatkan:
    إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
    Artinya: “Sesungguhnya Kami (Allah SWT) telah menawarkan amanah kepada langit dan bumi beserta gunung-gunung. Kemudian mereka tidak sanggup memikulnya serta menganggapnya berat. Namun, manusia menyanggupi untuk memikulnya. Sesungguhnya manusia itu (pada dasarnya) amatlah zhalim (sewenang-wenang) dan jahil (bodoh).” (QS. Al-Ahzâb [33]: 72).

    Hasil dari watak bodoh dan sewenang-wenang ini adalah kekufuran, yaitu pengingkaran atas kebenaran maupun kebaikan yang merupakan lawan dari keimanan dan kesyukuran. Dalam banyak ayat (misalnya Hûd: 9, Ibrâhîm: 34, Al-Isrâ': 67, Al-Hajj: 66, Asy-Syûrâ: 48) Al-Quran menandaskan sifat kufur ini sebagai karakter dasar yang mewarnai jiwa manusia. Sesungguhnya manusia itu, tegas Al-Quran, adalah makhluk yang kafûr dan kaffâr (kuat watak kufurnya). Dalam Az-Zukhruf: 15 dan `Abasa: 17 bahkan manusia dikecam sebagai makhluk yang kafûrun mubîn (amat jelas kufurnya) dan mâ akfarah (alangkah parah kekufurannya). Kekufuran terhadap kebenaran adalah pengingkaran atas kenyataan yang telah jelas buktinya dengan mendustai atau melalaikannya, sedangkan kekufuran terhadap kebaikan adalah pengingkaran atas karunia yang telah diterima dengan cara mengabaikan atau melawan konsekwensinya. Kedua hal inilah pangkal dari segala kerusakan di muka bumi, baik kerusakan pribadi, kerusakan sosial, maupun kerusakan alam.

    Kekufuran pun bertingkat-tingkat, dari kekufuran yang melahirkan dosa kecil dan kesalahan paham ringan, kemudian kekufuran yang menyebabkan kemaksiatan dan doktrin menyimpang serta yang mendatangkan dosa besar dan bid'ah tercela, sampai kekufuran yang mengakibatkan kemunafikan, perilaku syirik, status kafir, dan kemurtadan. Na`ûdzu billâh min dzâlik. Sayangnya, kekufuran ini sudah menjadi watak dasar manusia, sehingga mayoritas umat manusia di muka bumi pun akhirnya menjadi orang-orang yang kufur, orang-orang yang tidak beriman atau tidak bersyukur. Kalangan yang beriman dan rajin bersyukur hanyalah kalangan minoritas. Manusia-manusia yang berilmu dan rajin beramal shalih adalah pengecualian, bukan kebanyakan. Ini ditegaskan oleh Al-Quran pada banyak ayatnya, semisal Al-Baqarah: 155, Yûsuf: 103, Ar-Ra`d: 1, dan Ghâfir: 59 yang menandaskan bahwa mayoritas manusia itu tidak beriman serta Al-Baqarah: 243, Yûnus: 60, Yûsuf: 38, An-Naml: 73, dan Ghâfir: 61 yang menyatakan bahwa mayoritas mereka tidaklah bersyukur.

    Watak dasar yang negatif inilah yang disebut dengan hawa nafsu manusia. Karena mendasar, ia tentu bukan perkara yang mudah diatasi. Lantas watak dasar itu negatif, maka akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya pun amatlah sulit untuk dibendung atau diluruskan. Kebenaran adalah perkara yang jelas-jelas harusnya diterima, tetapi watak kufur akan membutakan nurani seseorang dan menghalanginya untuk percaya. Kebaikan adalah suguhan positif yang jelas-jelas harusnya dipuji dan diteladani, namun watak kufur akan mengotori jiwa sehingga kebaikan yang tersalurkan pun tidak memantul serta tidak diimbangi dengan rasa dan gerak syukur. Dalam Al-Isrâ': 89 dan Al-Furqân: 50, Al-Quran menyebutkan bahwa kebenaran wahyu itu sudah amat jelas serta argumen-argumennya amat logis dan rasional. Akan tetapi, tetap saja mayoritas insan itu terbutakan oleh watak kufurnya, sehingga Allah SWT pun mengingatkan Rasul bahwa: “Tidaklah kebanyakan manusia itu, walau engkau berupaya keras (berdakwah), bersedia untuk beriman.” (QS. Yûsuf: 103).

    Bahayanya hawa nafsu dan watak dasar ini semakin diperparah oleh adanya Syetan yang telah mengetahui kelemahan manusia ini (Al-A`râf: 17) tetapi aktif bekerja membisikinya dengan godaan-godaan yang tercela. Padahal, selain berwatak dasar negatif manusia juga merupakan makhluk lemah (QS. An-Nisâ': 28) yang cenderung tak kuasa menjalani tugas berat dan tak berdaya menghadapi serangan yang mengucur lebat. Akibatnya jelas: mayoritas umat manusia pun merupakan orang-orang yang merugi (QS. Al`Ashr: 1). Mereka yang beruntung adalah minoritas. Mereka yang jaya adalah pengecualian. Dar sini, jelas sekali bahwa menjadikan pendapat dan keinginan mayoritas manusia sebagai standar kebenaran atau sentral kebaikan sebagaimana arus pemikiran sekuler zaman ini adalah kesalahan fatal. Menekankan rasa percaya pada diri sendiri dan menuruti suara hati (bukannya rasa tawakal kepada Allah serta suara wahyu ilahi) sebagaimana digembar-gemborkan oleh pegiat motivasi belakangan ini adalah sebuah penyimpangan fatal. Allah SWT telah menegaskan dalam Al-An`âm: 166 bahwa seandainya yang dituruti adalah pandangan mayoritas manusia, maka ujungnya adalah kesesatan.

    Meskipun tercipta dalam watak dasar yang negatif, manusia ketika lahir juga telah dibekali oleh Allah SWT dengan hati nurani dan fitrah tauhid. Atas karunia Yang Maha Kuasa, manusia terlahir dalam status muslim dan membawa potensi untuk menerima kebenaran ketika hatinya tetap bersih terjaga. Akan tetapi, fitrah ini barulah 'celupan awal'. Fitrah keislaman memang dapat mengimbangi watak dasar negatif sang manusia serta membuatnya berpotensi untuk menjadi hamba yang shalih, namun ia amatlah lemah sementara godaan bertubi-tubi menerpa sehingga manusia yang dibiarkan hidup tanpa dididik secara berkelanjutan akan menjauhi fitrahnya dan terseret mengikuti watak dasar serta bisikan Syetan sang musuh sejatinya. Hanya hidayah Allahlah yang mampu menyelamatkannya dari saluran-saluran negatif ini. Hanya perlindungan-Nyalah yang mampu menangkis segala bisikan buruk dan hanya bimbingan-Nyalah yang mampu mencipta niatan-niatan baik.

    Oleh karena itu, bertakwa dan bertawakal kepada Allah adalah satu-satunya cara untuk mengatasi watak-watak negatif kita. Beriman dan beramal shalih adalah satu-satunya cara untuk melawan hawa nafsu kita. Bekerja sama dalam kebaikan serta saling menasehatkan ketegaran dalam memegang teguh kebenaran adalah satu-satunya cara untuk senantiasa menjaga dan menyuburkan fitrah serta menangkis tipu daya. Sebaliknya, meremehkan Agama dan menuruti begitu saja bisikan jiwa adalah pangkal segala bahaya. Mempercayai diri sendiri atau mengandalkan opini pribadi tanpa dilandasi panduan ilahi serta disaring oleh tuntunan Nabi adalah awal dari semua bencana. Keengganan untuk berdakwah, mendengar nasehat, serta mengevaluasi diri adalah pembiaran bagi mengguritanya watak-watak negatif di dalam diri (ketergesaan, egoisme, pengeyelan, kekikiran, kebodohan, kesewenangan, kekufuran) serta pemersilaan bagi menggeliatnya pengaruh-pengaruh buruk dari Syetan dan lingkungan. Jalan kebaikan memang terjal dan penuh hambatan, tetapi ujungnya adalah kejayaan yang amat gemilang. Sebaliknya, jalan keterlenaan itu seolah nyaman dan menyenangkan, tetapi ujungnya adalah kerugian berkepanjangan.



    Wallâhu a`lam, wabihi-l musta`ân.
     
    Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
    Copyright © 2011. Kajian Islam - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger