Bantu Menghafal Al Qur'an

Headlines News :
Home » , » Akhwat Jadi Penyiar Radio

Akhwat Jadi Penyiar Radio

Written By Unknown on Rabu, 08 Januari 2014 | 08.04


Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Insya Allah saya akan bahas satu persatu pertanyaan antum ...

1. Akhwat Menjadi Penyiar Radio

Saat ini kaum wanita telah menjadi partner kaum laki-laki dibanyak bidang, karena memang Islam tidak melarangnya, justru menganjurkan kerjasama antara mu’minin dan mu’minat, dan mereka banyak memiliki ladang amal shalih yang beririsan, dan ada pula memang yang dikhususkan untuk yang satunya, tapi tidak untuk lainnya. Semua telah diatur dalam syariat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah (9): 71)

Ayat lainnya:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al Ahzab (33): 35)

Pembebanan syariat atas laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali memang hal-hal tertentu yang dikhususkan bagi kaum perempuan (seperti haid, istihadhah, nifas, persalinan, penyusuan, dan warisan). Keduanya adalah sama-sama hamba Allah Ta’ala yang dituntut untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala, amar ma’ruf nahi munkar, dan memakmurkan dunia. Keduanya pun dituntut untuk kerjasama sesuai firmanNya: “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.”

Kita melihat sendiri, tidaklah laki-laki munafiq menyerang Islam melainkan pasti di samping mereka ada perempuan munafiq yang mendukung mereka. Tidaklah laki-laki kafir menyerang Islam melainkan pasti di sampingnya perempuan kafir juga menyokong mereka. Tidaklah laki-laki sekuler menyerang agama, melainkan berdiri di sampingnya pula perempuan sekuler. Hal ini dengan jelas disebutkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala:

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya …” (QS. At Taubah (9): 67)

Dalam ayat lainnya:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal (8): 73)

Maka, tuntutan saling tolong menolong dalam kebaikan antara laki-laki dan perempuan, disegala bidang, merupakan tuntutan syariat yang sangat jelas dan realistis. Termasuk bekerjasama dalam berdakwah dengan media jurnalistik, baik melalui radio, TV, majalah, dan koran.

Suara Wanita Auratkah?

Untuk mengetahui boleh tidaknya wanita muslimah menjadi penyiar radio, tentu kita harus mengetahui status suara wanita; aurat atau bukan? Sebab menjadi penyiar radio, “suara” si penyiar adalah yang paling pokok.

Dalam hal ini telah terjadi perbedaan pendapat ulama, sebagaimana disebutkan berikut:

اختلف العلماء في صوت المرأة فقال بعضهم إنه ليس بعورة لأن نساء النبي كن يروين الأخبار للرجال وقال بعضهم إن صوتها عورة وهي منهية عن رفعه بالكلام بحيث يسمع ذلك الأجانب إذا كان صوتها أقرب إلى الفتنة من صوت خلخالها وقد قال الله تعالى : { ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن } فقد نهى الله تعالى عن استماع صوت خلخالها لأنه يدل على زينتها فحرمة رفع صوتها أولى من ذلك

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah suara wanita, sebagian mereka mengatakan bahwa suara wanita bukan aurat karena para isteri nabi meriwayatkan hadits kepada para laki-laki. Sebagian mereka mengatakan bahwa suara wanita adalah aurat, dia dilarang meninggikan suara dalam pembicaraan ketika hal itu di dengar oleh laki-laki asing, suara wanita lebih mendekati fitnah dibanding suara gelang kakinya, dan Allah Ta’ala telah berfirman: (Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan). Allah Ta’ala telah melarang mendengarkan suara gelang kaki wanita, karena itu merupakan perhiasannya, maka haramnya meninggikan suara wanita lebih layak dibanding suara gelang kakinya. (Syaikh Abdurrahman Al Jazairi, Al Fiqh ‘Alal Madzahib Al ‘Arba’ah, 5/26)

Selanjutnya ........

Alasan Pihak Yang Mengatakan Bukan Aurat

Ada baiknya kita bahas secara rinci dua pihak di atas. Banyak ayat yang menunjukkan dialog antara laki-laki dan wanita, dan itu menunjukkan suara wanita bukan aurat.

Allah Ta’ala menceritakan dialog Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan dua wanita kakak beradik:

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (QS. Al Qashash (28): 23)

Sekalipun kisah ini masuk kategori syar’u man qablana (syariat manusia sebelum zaman kita), dampak hukum yang berlaku di dalamnya –yaitu tentang suara wanita- tetap berlaku hingga zaman kita, sebab oleh syariat kita hal itu juga dibenarkan. Syar’u man qablana tidak boleh dijadikan hujjah jika memang sudah direvisi (mansukh) oleh syariat kita.

Allah Ta’ala menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang zihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar hiwar (dialog) antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al Mujadilah (58): 1)

Tentunya terjadi perbincangan wanita tersebut dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apalagi Allah Ta’ala menyebutkan: Dan Allah mendengar dialog (Al Hiwar) antara kamu berdua, yakni antara wanita itu dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wanita itu adalah Khaulah binti Tsa’labah, sedangkan suaminya adalah Aus bin Ash Shaamith.

Ada pun dalam hadits, sangat banyak dialog antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan kaum wanita zamannya, lalu antara para isterinya dengan para sahabat nabi.

Contohnya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No. 1852, 7315, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8455, 12382, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 12444)

Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam biografi Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ‘Aisyah meriwayatkan hadits kepada banyak sekali sahabat nabi yang laki-laki dan para tabi’in. Imam Adz Dzahabi mengatakan:

فروت عنه علماء كثيرا طيبا مباركا فيه.

Dan banyak para ulama -yang diberkahi- telah meriwayatkan hadits darinya. (Siyar A’lam An Nubala, 2/135)

Di antaranya: Ibrahim An Nakha’i, Ibrahim At Taimi, Ishaq bin Thalhah, Ishaq bin ‘Umar, Al Aswad bin Yazid, Ayman Al Makki, Tsumamah bin Huzn, Jubair bin Nufair, Jami’ bin ‘Amir. Dan masih sangat banyak. (Ibid, 2/136)

Fakta dan data ini menunjukkan bahwa suara wanita adalah bukan aurat. Sebab, jika aurat tentu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi orang pertama yang tidak mau bicara dengan wanita bukan mahramnya, dan orang pertama yang mengabarkan kepada isteri dan umatnya, dan berita itu akan kita ketahui secara pasti dari zaman ke zaman. Namun, kenyataan menunjukkan sebaiknya, Beliau dialog dengan wanita, isteri Beliau juga berbicara dengan laki-laki dan mengajarkan hadits kepada mereka.

Inilah pendapat yang lebih kuat, dan merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Abu Hanifah. Namun itu selama disuarakan secara wajar; tidak mendayu-dayu, dibuat-buat, mendesah, dan apa saja yang bisa melahirkan fitnah baik bagi dirinya dan pendengarnya. Jika batasan-batasan ini tidak diindahkan, tentu suara wanita menjadi terlarang. Terlarang bukan zatnya, tetapi dampak negatifnya.

Oleh karena itu Allah Ta’ala menasihati para isteri nabi:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْل فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. (QS. Al Ahzab (33): 32)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah –ahli fiqih dari Syiria- berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة.

وعبارة الحنفية: الراجح أن صوت المرأة ليس بعورة.

Suara wanita menurut jumhur (mayoritas) adalah bukan aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita yang disuarakan dengan melagukann dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah. Perkataan kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah): yang lebih kuat adalah bahwa suara wanita adalah bukan aurat. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/665, Maktabah Misykah)

Beliau juga menyebutkan dari kalangan Syafi’iyah, sebagai berikut:

وإن كان الأصح أن صوتها ليس بعورة، فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

Jika yang lebih benar adalah bahwa suara wanita itu bukan aurat, maka tidak diharamkan mendengarkan suara wanita walaupun penyanyi, kecuali jika dikhawatiri fitnah. (Ibid, 2/116)

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

أَمَّا إنْ كَانَ صَوْتَ امْرَأَةٍ ، فَإِنْ كَانَ السَّامِعُ يَتَلَذَّذُ بِهِ ، أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ فِتْنَةً حَرُمَ عَلَيْهِ اسْتِمَاعُهُ ، وَإِلاَّ فَلاَ يَحْرُمُ ، وَيُحْمَل اسْتِمَاعُ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَصْوَاتَ النِّسَاءِ حِينَ مُحَادَثَتِهِنَّ عَلَى هَذَا ، وَلَيْسَ لِلْمَرْأَةِ تَرْخِيمُ الصَّوْتِ وَتَنْغِيمُهُ وَتَلْيِينُهُ ، لِمَا فِيهِ مِنْ إثَارَةِ الْفِتْنَةِ ، وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْل فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ }

Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka. Janganlah wanita memerdukan suaranya, mengeraskan, dan melembutkannya, karena di dalamnya memiliki dampak lahirnya fitnah. Hal itu ditegaskan dalam firmanNya: Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 4/90)

Jadi, masalah ini juga dikaitkan dengan perilaku dan kondisi si pendengarnya, sebab walaupun si wanita bersuara biasa saja, tidak dibuat-buat, dan masih dalam batas wajar, bisa jadi ada laki-laki menikmati suara tersebut untuk membangkitkan syahwatnya. Demikian ini tidak bisa disalahkan wanitanya, tapi dikembalikan kepada pendengarnya; jika dia merasa tidak mampu membendung fitnah dan penyakit hati dalam dirinya, maka janganlah dia mendengar suara wanita, jika dia tidak ada masalah sama sekali, tidak ada pengaruh apa pun, maka tidak terlarang baginya. Namun, jika si wanita bersuara sudah dimerdukan, dilengkingkan, mendayu-dayu, dilembutkan, maka laki-laki mana pun tidak boleh mendengarkannya pintu fitnah sudah sangat dekat, kecuali bagi laki-laki yang menjadi suaminya.

Alasan Pihak Yang Mengatakan Aurat

Pihak yang berpendapat suara wanita adalah aurat, memiliki beberapa alasan:

ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS. An Nuur (24): 31)

Sudah disebutkan sebelumnya, bahwa jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding suara gelang. Ini metode qiyas aula.

Alasan dengan ayat ini lemah, sebab ayat ini menunjukkan keinginan si wanita untuk diketahui perhiasannya ke hadapan laki-laki, maka dia membunyikan suara gelang kakinya. Berbeda dengan suara mulut, yang memang kebutuhan asasi manusia untuk berbicara, yang tidak ada kaitannya agar diketahui kemerduannya. Jika ada wanita bersuara dengan tujuan seperti itu, maka itu terlarang, tetapi bukan pada suaranya, namun tujuannya untuk menggoda dan melemahkan kaum laki-laki.

Alasan lainnya adalah ketika shalat berjamaah, lalu imam melakukan kesalahan, maka kaum laki-laki meluruskan imam dengan membaca tasbih: subhanallah, sedangkan kaum wanita dengan bertepuk tangan. Ini menunjukkan auratnya suara wanita. Jika bukan aurat, tentunya mereka pun juga sama dengan laki-laki, yakni mengucapkan subhanallah.

Alasan ini juga lemah, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah rule (aturan) yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah, tanpa harus diketahui alasannya. Dengan kata lain, ini adalah takwil yang begitu jauh.

Alasan lainnya, hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya. (HR. At Tirmidzi No. 1173, Ibnu Khuzaimah No. 1685, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Ausath No. 2890, 8096, dalam Al Kabir No. 9481, 10115, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 2061, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 45045. Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 6690. Imam Al Haitsami mengatakan: “diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Awsath dan Al Kabir, semua perawinya adalah perawi shahih.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 4/575)

Bagaiamanakah memahami hadits ini? Apakah bermakna seluruh yang ada pada dan dari wanita adalah aurat? Tidak, syariat telah mengecualikannya pada bagian tertentu. Ini adalah hadits muthlaq dan ‘aam (umum), yang bermakna pada dasarnya wanita adalah aurat. Dalam kaidah ushul, tidak boleh berdalil dengan hadits muthlaq dan ‘aam, jika ada hadits yang lebih khusus dan rinci. Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang muthlaq (umum) harus dibatasi oleh yang khusus). Nah, dalil yang membatasinya adalah kisah dialognya wanita dengan nabi, atau para isteri nabi dengan para sahabatnya, sebagaimana yang telah lalu.

Demikian alasan pihak yang mengatakan suara wanita adalah aurat bagi laki-laki asing, beserta tanggapannya. Nampak bagi kami, bahwa alasan-alasan ini adalah muhtamal (multitafsir), berbeda dengan alasan dan bukti yang dikemukakan pihak yang membolehkan yakni pihak mayoritas ulama, begitu jelas dan tegas bahwa suara wanita bukan aurat. Wallahu A’lam

Rambu-Rambu dan Batasannya

Setelah kita tahu bahwa pandangan yang lebih kuat adalah suara wanita bukan aurat, maka pada dasarnya tidak mengapa wanita berbicara pada waktu dan momen apa pun, yang memang dibutuhkan mereka berbicara, termasuk menjadi penyiar radio. Namun demikian, ada batasan-batasan yang mesti diketahui dan diperhatikan betul oleh kaum wanita, di antaranya:

- Hendaknya menutup aurat dengan sempurna dan tidak bersolek (tabarruj)

- Tidak berduaan di dalam studio dengan laki-laki non mahram, semestinya dibuatkan space khusus wanita

- Materi dan tema pembicaraan adalah yang baik-baik dan bermanfaat

- Hendaknya bersuara dengan wajar dan berwibawa, tidak bersuara dengan suara yang membuat lahirnya penyakit hati kaum laki-laki, seperti dimerdukan, dilembutkan, dilengkingkan, apalagi mendayu-dayu dan mendesah

- Hendaknya dilakukan pada waktu-waktu yang pantas buat keberadaan wanita di luar rumah

- Jika masih ada kaum laki-laki yang punya kemampuan, maka menggunakan laki-laki sebagai penyiar adalah lebih utama untuk menutup seluruh pintu dan potensi fitnah

Sekian. Wallahu A’lam

Taat kepada Qiyadah Da’wah apakah mutlak? 

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kalian .. (QS. An Nisa (4): 59)

Para Salaf seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri ayat ini adalah Ahlul Fiqh wad Din (Ahli fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al Bashri, Abul ‘Aliyah mengatakan, maksudnya adalah ulama. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/345. Darut Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

Jadi, makna Ulil Amri begitu luas sebagaimana diterangkan para mufassir, mereka bisa bermakna ulama, umara, khalifah, hakim, panglima perang, dan tentunya pemimpin dalam da’wah (Qiyadah Da’wah). Bahkan dalam safar saja kita disyariatkan menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin safar, lalu kita mentaatinya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Jika ada tiga orang melakukan perjalanan maka angkatlah salah seorang mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud No. 2608, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.10129. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 763)

Ucapan seperti ini juga ada secara mauquf sebagai ucapan Umar bin Al Khathab. (Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1623, katanya: shahih sesuai syarat syaikhan. Ibnu Khuzaimah No. 2541. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih mauquf dan rijalnya tsiqat. Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah , 4/141)

Wajh Istidalal (sisi pendalilan)nya adalah jika dalam bepergian saja disyariatkan mengangkat seorang pemimpin, maka apalagi dalam hal yang lebih urgen dari itu seperti dakwah dan jihad. Ini diistilahkan dengan Qiyas Aula.

Maka, mentaati para pemimpin-pemimpin ini adalah perintah Allah Ta’ala sebagaimana surat An Nisa ayat 59 di atas. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memerintahkan kita untuk mentaati pemimpin:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصا الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصا أميري فقد عصاني

“Barangsiapa yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah, barangsiapa yang membangkang kepadaku maka dia telah membangkang kepada Allah. Dan barang siapa yang mentaati pemimpinku (yakni pemimpin yang Rasul tunjuk) maka dia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membangkang kepada pemimpinku maka dia telah membangkang kepadaku.” (HR. Bukhari No. 7137 dan Muslim No.1835)

Demikian konsep dasar ketaatan antara rakyat dengan pemimpinnya, umat dengan ulama, dan junud dengan qiyadahnya.

Apakah Ketaatan Mutlak?

Tidak ada ketaatan mutlak kecuali kepada Allah Ta’ala dan RasulNya. Oleh karenanya dalam surat An Nisa ayat 59, kata athi’uu (taatilah) hanya pada Allah dan RasulNya, tidak pada Ulil Umri.

Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya (baca: kader)? Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia adalah pemimpin yang oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat) diperintahkan agar memerintah dengan syariatNya. (Fathul Bari, 20/152)

Jadi, patokannya adalah syariah, sejauh mana ketaatan pemimpin tersebut kepada Allah dan RasulNya, dan syariat yang diajarkan oleh RasulNya. Sejauh mana pula kebenaran perintah mereka dalam timbangan syariah. Namun, sebagain ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa pemimpin yang fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik, ada pun kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di atas.

Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Ta’ala dan RasulNya, maka semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Bukhari No. 7257, Muslim No. 1840, Abu Daud No. 2625. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 7828, 8721, Ahmad No. 724. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No. 16386)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari No. 7144, Abu Daud No. 2626. At Tirmidzi No. 1707. Ahmad No. 6278, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5117)

Dari hadits-hadits ini mereka sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik perintah itu datangnya dari pemimpin yang adil atau zalim terhadap rakyatnya, suami ke pada isterinya, orang tua kepada anaknya, jenderal kepada prajuritnya, dan sebagainya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah juga wajib tetap taat kepada pemimpin yang fasiq dan zalim, namun belum kafir. Ini dilihat dari sisi kepribadian pemimpin tersebut, bukan dilihat dari isi (content) yang diperintahkannya.

Kebanyakan Ahli hadits mengatakan, tetap wajib taat kepada pemimpin yang zalim dan fasiq, serta bersabar menghadapi mereka, selama mereka masih menegakkan shalat, dan belum melakukan tindakan yang mengeluarkannya dari Islam secara nyata (kufrun bawaah), dan selama perintahnya bukan maksiat, ada pun kefasikan dan kezaliman pemimpin, maka itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Ini juga pendapat Imam Hasan Al Bashri.

Sebagian muhaqqiq dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)

Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)

Mereka berdalil dengan banyak hadits, di antaranya hadits berikut:

إلا أن تروا كفرا بَوَاحا، عندكم فيه من الله برهان

“Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang nyata (kufrun bawaah), dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari No. 7055 dan Muslim No. 1709)

Dalil lainnya, dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiallahu ‘Anhu beliau berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada. Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?” Rasulullah mejawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi.” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya lagi: “Bagaimana itu?” Rasulullah menjawab: “Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam tubuh manusia.” Hudzaifah bertanya: “Apa yang aku lakukan jika aku berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?” Rasulullah menajwab: “Dengarkan dan taati pemimpinmu, walau punggungmu dipukul dan diambil hartamu, maka dengarkan dan taat.” (HR. Muslim No. 1847. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.16394, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 2960)

Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.” Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah tidakkah kami melawannya dengan pedang?” Rasulullah menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim No. 1755, Ahmad No. 24027, . Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16400, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 116, 117, Ad Darimi No. 2797)

Imam An Nawawi mengatakan, tidak dibenarkan keluar dari ketaatan kepada pemimpin jika semata karena kezaliman dan kefasikannya, selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/327)

Selain itu, Imam Bukhari menulis sebuah Bab dalam kitab Shahih-nya, Kewajiban berjihad bersama orang baik atau fajir (Al Jihad Maadhin ‘Alal Barri wal Faajir). Begitu pula Imam Abu Daud, beliau membuat bab dalam kitab Sunan-nya, Perang Bersama Pemimpin yang Zalim (Fil Ghazwi ma’a A’immati Al Jauri). Sehingga Imam Ahmad menjadikannya alasan bahwa tidak ada perbedaan antara berjihad bersama pemimpin yang adil atau zalim, keutamaan-keutamaan jihad tetap akan didapatkan. (Fathul Bari, 8/474). Begitu pula yang dikatakan Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, 11/495). Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan, tidak disyaratkan berjihad itu harus dengan hakim yang adil, atau pemimpin yang baik, sebab jihad wajib dalam segala keadaan. (Fiqhus Sunnah, 2/640)

Begitu juga dalam shalat, para ulama menetapkan kebolehan berimam kepada orang zalim dan fasiq, karena dahulu para sahabat, di antaranya Ibnu Umar pernah berimam kepada penguasa zalim, gubernur Madinah, Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi (pembunuh Abdullah bin Zubeir) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam bukhari. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri shalat dibelakang khalifah Marwan. Imam An Nasa’i membuat Bab dalam kitab Sunan-nya, Shalat Bersama Imam Zalim. (Ash Shalatu Ma’a A’immatil Jauri).

Demikianlah alasan para ulama yang tetap mewajibkan taat kepada pemimpin fasiq dan zalim, selama mereka masih muslim, dan isi perintahnya adalah bukan maksiat.

Sementara, sebagian Imam Ahlus Sunnah lainnya menyatakan tidak wajib taat kepada pemimpin yang zalim dan fasiq, karena kefasikan dan kezalimannya itu, bukan hanya karena faktor isi perintahnya saja yang berisi maksiat.

Dalilnya adalah:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)

Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

Artinya, ketika pemimpin tersebut sudah tidak di atas kebenaran (baik karena perilaku atau pemahaman pribadi), maka tidak ada kewajiban taat kepadanya. Imam Al Baidhawi tidak membicarakan tentang isi perintahnya. Makna pemimpin pun tidak sebatas pada khalifah, tetapi juga pemimpin apa pun, termasuk dalam konteks pembahasan kita, yakni qiyadah sebuah jamaah atau organisasi.

Bahkan Imam Abul Hasan Al Mawardi mengatakan, bahwa umat berhak meminta pencopotan kepada pemimpin jika mereka memang hilang ke’adalahannya, yakni melakukan kefasikan (baik karena syahwat atau syubhat) dan cacat tubuhnya. (Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28). Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnu Hazm, dan Imam Al Ghazali.

Bapak sosiolog Islam, Al ‘Allamah Ibnu Khaldun juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)

Sebaliknya, Imam Ibnu Tamiyah menganjurkan untuk sabar, tidak memberontak menghadapi ‘musibah’ pemimpin yang zalim (Majmu’ Fatawa, 1/262)

Akhirnya ..., setelah panjang lebar kami menguraikan, bagaimana menyikapi pemimpin yang melakukan penyimpangan, fasiq, dan zalim, nampak jelas bagi kami bahwa sikap tetap taat dan sabar adalah lebih utama dan lebih membawa maslahat, dan dapat mencegah kemudharatan serta chaos berkepanjangan, walau keputusan dan perilaku sebagian qiyadah sangat ‘menggeramkan’ dan ‘menjengkelkan’ menurut sebagian kader, yang penting kader tidak diperintah untuk maksiat yang nyata, dan baik sangka lebih dikedepankan, bahwa mustahil qiyadah memerintahkan kadernya untuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Dan wajh istidlal (sisi pendalilan) sikap ini pun lebih argumentatif dan legitimate.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang dibencinya, maka hendaknya dia bersabar, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Bukhari No. 7054 dan Muslim No. 1849)

Dari hadits ini, tentu kami tidak mengatakan ‘jahiliyah’ orang yang keluar dari jamaah tarbiyah, sebab hadits ini sedang berbicara tentang jamaatul muslimin (jamaah umat Islam keseluruhan). Tetapi ada pelajaran berharga dari hadits ini yakni perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umatnya agar bersabar menghadapi pemimpin yang perilaku, pemahaman, atau keputusannya tidak disukai mereka. Ini alasan yang kuat kenapa kader hendaknya mengambil sikap taat dan sabar. Kami rasa sikap ini lebih bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, karena didasari oleh dalil dan pandangan para ulama, bukan karena emosi.

Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah) dalam hadits tersebut, dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, 6/322)

Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 11/399)

Ada pun surat Al Kahfi ayat 28: “Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami.” Tidak bisa dijadikan hujjah, sebab maksudnya adalah orang-orang yang hatinya lebih condong kepada syirik dibanding tauhid. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/384). Atau menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan ibadah dan Rabbnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 5/154). Apakah ada yang tega menyebut qiyadah telah melakukan syirik yang nyata? (misal, karena iklan Soekarno, “Aku adalah budak rakyatku,” yang membawa dampak Syirk lafzhiyah). Atau mengatakan, qiyadah telah mendahulukan dunia di banding ibadah dan Rabbnya, bukankah mereka memiliki lembaran mutaba’ah harian? Maka, bagi (kader) yang menyatakan demikian, maka dia telah ghuluw (kelewat batas) dan lebih mendahulukan zhan.

Masalahnya adalah benarkah qiyadah telah melakukan tindakan kefasiqan, kezaliman, dan apa pun yang membuatnya layak untuk tidak ditaati menurut sebagian ulama? Ataukah itu karena perasaan, tuduhan, atau informasi yang tidak utuh, atau ada pihak ketiga yang bermain dan lebih dipercaya oleh kader, atau hanya karena perbedaan ijtihad politik saja? Jika benar qiyadah telah melakukan kefasiqan dan kezaliman, itu pun bukan alasan yang kuat untuk membangkang sebagaimana uraian panjang di atas, paling jauh kita boleh menasihatinya, jika tidak mau menerima nasihat maka urusannya dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Jika tidak benar mereka melakukan kefasikan, maka lebih tidak ada alasan lagi untuk membangkang. Namun, seharusnya qiyadah pun harus memberikan penjelasan internal, tanpa ada yang disembunyikan, tentang berbagai masalah yang digugat oleh kader. Wallahu A’lam

Ketahuilah dan fahamilah ..., betapa pun keras kritikan kader terhadap qiyadah, maka qiyadah bukanlah syaitan yang selalu berbuat salah dan selalu mengajak pada kesalahan. Sebagaimana kader pun bukanlah malaikat yang selalu benar tanpa kesalahan.

Kesimpulan

Ada dua sisi yang mesti dilihat dalam taat atau tidak kepada qiyadah:

1. Kandungan atau isi Perintahnya

Jika isi perintah tersebut adalah haram secara qath’i, qiyadah memerintahkan kader da’wah untuk maksiat kepada Allah Ta’ala pada masalah yang memang benar-benar maksiat, atau qiyadah menghalalkan yang jelas-jelas Allah Ta’ala haramkan. Maka, tidak ada taat kepada mereka, bahkan haram taat kepada mereka, walaupun yang memerintahkan adalah pemimpin yang shalih dan adil. Ini merupakan kesepakatan ulama.

Sedangkan dalam masalah yang masih diperselisihkan –dan ini yang sering terjadi-, nash tidak membicarakannya, atau membicarakannya tapi multitafsir, sehingga membuka peluang diskusi dan perbedan yang luas, maka mentaati mereka tetap dianjurkan. Sebab keputusan pemimpin merupakan penghilang khilafiyah. Jika kader maunya A, tetapi qiyadah berpendapat B, dan ini adalah masalah yang debatable maka mengikuti mereka tetap wajib, untuk menutup pintu fitnah permusuhan, keretakan dan perpecahan jamaah, dan itu merupakan adab hidup berjamaah dan bermusyawarah. Masing-masing pihak tidak dibenarkan menuduh yang lain telah melanggar syariat Allah Ta’ala dengan pendapatnya itu.

Inilah yang dinasihatkan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:

ورأي الإمام ونائبه فيما لا نص فيه ، وفيما يحتمل وجوها عدة وفي المصالح المرسلة معمول به ما لم يصطدم بقاعدة شرعية , وقد يتغير بحسب الظروف والعرف والعادات , و الأصل في العبادات التعبد دون الالتفات إلى المعاني , وفي العاديات الالتفات إلى الأسرار و الحكم و المقاصد

“Pendapat seorang pemimpin dan wakilnya dalam perkara yang di dalamnya tidak dibahas oleh nash, dan dalam perkara yang multitafsir, dan dalam maslahat mursalah maka itu bisa diamalkan selama tidak bertabrakan dengan kaidah syara’, dan dapat berubah seiring perubahan keadaan, tradisi, dan adat. Hukum dasar dari ibadah adalah ta’abbud (ketundukan) tanpa mencari-cari kepada makna-maknanya, sedangkan dalam hal adat dibolehkan mencari rahasia, hikmah, dan maksud-maksudnya.” (Ushul ‘Isyrin No. 5)

2. Kondisi Qiyadah Yang Memerintahkannya

Jika pemimpin itu termasuk pemimpin yang dikenal baik, adil, dan shalih, maka tetap mentaati mereka dalam suka dan duka, yang kita mau dan yang tidak kita mau, selama bukan diperintahkan maksiat. Ini juga telah disepakati.

Sedangkan jika pemimpin itu zalim dan fasik, belum sampai tingkat kufrun bawwah (kekafiran yang nyata). Maka, pendapat yang kuat di antara dua pendapat adalah bersabar terhadap mereka, lalu mentaatinya jika isi perintah mereka yang baik-baik, dan tidak mentaati jika perintahnya maksiat kepada Allah Ta’ala.

Sementara yang lain mengatakan, jangan mentaati mereka walau isi perintahnya baik-baik, mesti memakzulkan mereka karena mereka zalim dan fasik. (Lihat pada pembahasan Menyikapi Penguasa Yang Zalim)

Sekian. Wallahu A’lam
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kajian Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger