Bantu Menghafal Al Qur'an

Headlines News :
Home » » Fiqh Hukum Dua Kali Adzan dan Shalat Qabliyah Jum'at

Fiqh Hukum Dua Kali Adzan dan Shalat Qabliyah Jum'at

Written By Unknown on Jumat, 10 Januari 2014 | 00.50

Dua pertanyaan tersebut adalah perkara khilafiyah sudah lama. Kita akan membahasnya secara terpinci sebagai berikut:

Pertama. Adzan dua kali untuk shalat Jum’at

Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adzan shalat Jum’at hanya sekali, lalu hal itu diteruskan hingga masa Abu Bakar dan Umar bin al khathab Radhiallahu ‘Anhuma, namun pada masa Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu, karena manusia semakin banyak, dan sibuk, Utsman bin Affan berijtihad dilakukan dua kali adzan. Pertama adzan di Zaura’ (semacam tempat yang agak tinggi di pasar Madinah) untuk memanggil manusia, sedangkan adzan kedua di Mesjid ketika masuk waktu shalat Jumat.

Dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiallahu ‘anhuma. Maka pada masa Utsman Radhiallahu ‘anhu dan orang-orang sudah banyak, ia menambahkan azan yang ketiga diatas Zaura’. Berkata Abu Abdillah, Zaura’ adalah suatu tempat di pasar di kota Madinah. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Ashqalani, kitab Jumu’ah)

Dari hadits inilah para Ulama berbeda pendapat, ada yang mengikuti sekali adzan saja, sebab itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Nabi mengatakan, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuknya.

Ulama lain mengatakan, adzan dilakukan dua kali, sebab penduduk saat ini justru lebih banyak dan sibuk dibanding masa Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu, dan Nabi pun mengatakan, ikutilah sunnahku, dan sunnah para Khulafa’ur rasyidin setelahku. Bakankah Utsman termasuk diantara Khalafa’us Rasyidin?

Imam Mawardi berkata: " Tambahan azan dilakukan oleh Utsman Radhiyallahu ‘Anhu agar orang mampu bersiap - siap menghadiri khutbah karena kota Madinah waktu itu semakin banyak penduduknya " ( Imam Al Qurthubi, Tafsir Jami'li Ahkamil Quran, Juz. 18, Hal. 100)
Bila melihat alasan kedua kelompok, nampak terlihat sama-sama kuat. Namun, kelompok yang pertama lebih sesuai sunnah, ada pun kelompok kedua –saat ini- sesuai dengan realita, apalagi di daerah Islam yang belum ada listrik, sehingga adzan tidak menggunakan pengeras suara dan tentunya wajar adzan dua kali.

Namun, untuk daerah yang sudah ada pengeras suara, yang suara tersebut sudah mampu menjangkau beberapa kilometer, tentu adzan sekali lebih utama, sebab alasan (‘illat) Utsman bin Affan ditambahnya adzan itu adalah agar yang dipasar juga mendengar. Kalau pun ingin benar-benar secara total ingin mengikuti Utsman, seharusnya kelompok yang berpendapat adzan dua kali, seharusnya melakukan adzan yang kedua juga di pasar. Saat ini. ketika alasan sebagaimana Utsman sudah tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada.

Jadi, masalah ini tergantung ‘illat (alasan)-nya, jika sebuah daerah memiliki ‘illat sebagaimana masa Utsman, bahwa adzan pertama tidak cukup karena tidak terdengar, maka sebaiknya adzan memang dua kali. Namun, jika sebuah daerah dengan adzan sekali sudah memadai karena sudah menggunakan pengeras suara, maka itu lebih utama. Nampaknya, inilah yang menjadi kondisi umumnya kita saat ini.

Dalam Ajwibah Nafi’ah, Kata Syaikh al-Albani Rahimahullah: “Kita tidak mengikut perbuatan Utsman secara mutlak tanpa memperhatikan alasan-alasan beliau, dan telah kita ketahui bahwa Utsman menambah adzan kerana beberapa sebab yang rasional, yaitu jumlah penduduk Madinah yang bertambah ramai dan jarak antara kawasan perumahan yang semakin jauh dari Masjid Nabi, maka siapa saja yang mengikut pendapat Utsman secara taqlid buta tanpa memerhatikan sebab-sebab ini maka dia telah berbeda dengan Utsman, karena jika sebab-sebab tersebut tidak berlaku, sudah tentu Utsman tidak akan menambah adzan dan meneruskan saja adzan yang dilakukan pada zaman Nabi, Abu Bakar dan 'Umar Radhiallahu ‘Anhuma.”

Apa kata Imam Asy Syafi’i?

[‏قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‏‏:‏ وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ الْأَذَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حِينَ يَدْخُلُ الْإِمَامُ الْمَسْجِدَ وَيَجْلِسُ عَلَى مَوْضِعِهِ الَّذِي يَخْطُبُ عَلَيْهِ خَشَبٌ، أَوْ جَرِيدٌ أَوْ مِنْبَرٌ، أَوْ شَيْءٌ مَرْفُوعٌ لَهُ، أَوْ الْأَرْضُ فَإِذَا فَعَلَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي الْأَذَانِ فَإِذَا فَرَغَ قَامَ فَخَطَبَ لاَ يَزِيدُ عَلَيْهِ

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Dan aku sukai bahwa Adzan pada hari jum’at adalah ketika imam masuk kedalam masjid dan duduk diatas tempatnya yakni tempat ia hendak berkhutbah yang terbuat dari kayu. atau mimbar atau sesuatu yang dapat menjadikannya tinggi, atau tanah. Maka apabila telah selesai (imam naik keatas mimbar) hendaklah Muadzin mengumandangkan adzan dan apabila selesai adzan tersebut hendaklah imam berkhutbah tanpa ada tambahan lain.”

وَأُحِبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ مُؤَذِّنٌ وَاحِدٌ إذَا كَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ لاَ جَمَاعَةُ مُؤَذِّنِينَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ‏:‏ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ‏:‏ أَخْبَرَنِي الثِّقَةُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ الْأَذَانَ كَانَ أَوَّلُهُ لِلْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَلَمَّا كَانَتْ خِلاَفَةُ عُثْمَانَ وَكَثُرَ النَّاسُ أَمَرَ عُثْمَانَ بِأَذَانٍ ثَانٍ فَأُذِّنَ بِهِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Beliau melanjutkan: “Dan aku sukai bahwa muadzin mengumandangkan adzan seorang diri apabila ia (imam) telah diatas mimbar, dan tidak boleh mengumpulkan dua muadzin.” Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’ ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i ia berkata; telah mengabarkan kepada kami secara tsiqah (terpercaya) dari Az-Zuhri dari Saib bin Yazid bahwa Adzan pertama kali untuk jum’at adalah ketika imam telah duduk diatas mimbar, ini pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Abu Bakar dan Umar, kemudian pada masa khalifah Utsman sedangkan saat itu manusia telah banyak maka Utsman memerintahkan untuk mengadakan adzan kedua, maka terjadilah adzan (kedua) pada masa itu, dan menjadi baku-lah hal itu.

‏ ‏[‏قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‏‏:‏ وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاوِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ‏.

Berkata Imam Asy-Syafi’i: Dan sesungguhnya ‘Atha mengingkari (tidak menyetujui) perbuatan itu bahwa Utsman telah melakukan perbuatan muhdats (baru) akan tetapi ia (‘Atha) berkata bahwa Mu’awiyahlah yang melakukan perbuatan muhdats itu. Wallahu Ta’ala a’lam.

‏قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‏‏:‏ وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَحَبُّ إلَيَّ

Berkata Asy-Syafi’i: “Yang mana saja, dari kedua hal itu (pada masa Utsman atau Muawiyah) maka Apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu’Alaihi wasallam lebih aku sukai. (yakni adzan sekali)(Kitab Al-Umm Juz I, Kitab Shalat, Bab Kewajiban Jumat)

Kedua. Tentang Shalat Qabliyah Jum’at

Sama dengan hal di atas, ini juga khilafiyah. Namun ada beberapa hal yang perlu kita ketahui. Ada tiga jenis shalat sunah sebelum Shalat Jum’at, yakni:

1.Shalat Sunah Tahiyatul Mesjid. Ini hukumnya sunah, tak ada perselisihan para ulama sama sekali. Walau pun ketika sampai di mesjid, khatib sedang berkhutbah, Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tetaplah menganjurkannya untuk dilakukan.

2. Shalat Sunah mutlak. Ini juga sunah hukumnya, tak ada perselisihan ulama. Shalat sunah mutlak adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat oleh waktu atau peristiwa. Misalnya, sambil menunggu adzan Jumat, anda mengisi kekosongan waktu dengan melakukan shalat sunah, itulah shalat sunah mutlak dengan dilakukan dua rakaat, dan boleh berulang-ulang, hingga kita sendiri yang memutuskan untuk berhenti, atau karena khatib sudah naik mimbar.

3. Shalat Sunah Qabliyah Jumat setelah adzan. Para ulama berselisih faham tentang ini. Ada yang membid’ahkan, sebab memang tak ada satu pun keterangan dari Rasulullah, bahwa beliau pernah melakukannya setelah adzan berkumandang. Dalam masalah ibadah ritual seperti shalat, harus memiliki dalil. Justru yang Nabi contohkan adalah ketika setelah adzan, ia langsung khutbah. (lihat hadits dari Saib bin Yazid di atas). Masalah ini tidak boleh diqiyaskan dengan shalat qabliyah zhuhur, sebab dalam ibadah tidak boleh ada qiyas, berbeda dengan masalah muamalah. Inilah pandangan Imam Malik dan umumnya pengikut Imam Ahmad bin Hambal.

Sementara ulama lain yang mengatakan qabliyah jumat adalah sunah, inilah pandangan Imam Abu hanifah dan Imam Asy Syafi’i. Mereka beralasan dengan beberapa hadits berikut:

“Antara dua adzan itu ada shalat sunnah! Antara dua adzan ada shalat sunnah!.” Ketika beliau bersabda ketiga kalinya, maka sabdanya diteruskan dengan, “bagi siapa saja yang menghendakinya.” (HR. Shahih Bukhari, Juz.2, Hal. 496. no. 588. Lihat juga Juz 3, hal. 1, no. 591. Shahih Muslim, Juz. 4, hal. 292, no. 1384. Sunan Abu Daud, Juz. 4, hal. 42, no. 1091. Sunan At Tirmidzi, Juz.1, hal. 310, no. 170. Sunan An Nasa’i, Juz. 3, hal. 74, no. 674. Sunan Ibnu Majah, Juz. 3, hal. 494, no. 1152. Musnad Ahmad, Juz. 34, hal. 145, no. 16188. Lihat juga Juz. 41, hal. 499, no. 19636. Lihat juga Juz. 42, hal. 14, no.19651. Sunan Ad Darimi, Juz 4, hal. 302, no. 1491. Sunan Ad Daruquthni, Juz. 3, hal. 143, no. 1053 Shahih Ibnu Hibban, Juz. 7, hal. 121, no. 1584 . Al Maktabah Asy Syamilah)

Maksud dari ‘antara dua adzan’ adalah di antara adzan dan iqamah. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada satu shalat fardu pun, melainkan pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.” (HR. Shahih Ibnu Hibban, Juz. 10, hal. 385, no. 2499. Lihat juga hal. 453, no. 2535.Mu’jam al Kabir At Thabrani, Juz. 18, hal. 394, no. 82. Sunan Ad Daruquthni, Juz. 3, hal. 145, no. 1056. Al Maktabah Asy Syamilah )

Nah, bagi mereka, karena Shalat Jumat juga shalat fardhu sebagimana yang fardhu yang lain, maka ia termasuk keumuman hadits di atas. Yakni yang namanya shalat fardhu, pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.

Demikian, semoga bermanfaat, dan tidak menjadikan masalah khilafiyah sebagai sumber perpecahan. Wallahu A’lam
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kajian Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger