Poligami dan Nikah Siri
adalah persoalan yang selalu ramai jika dibahas. Berbagai pendapat pro
& kontra senantiasa bermunculan. Akan tetapi, pada kenyataannya
persoalan ini adalah persoalan yang sering kita temukan.
Bahkan mungkin
pada sahabat, kerabat atau mungkin diri kita. Ketika persoalan ini
sampai kita alami, maka perlu pandangan dan sikap yang tepat. Berikut
ini sebuah problem yang dialami oleh saudari kita. Problemnya cukup
kompleks; sudah poligami, nikah sirri, wali hakim pula. Tanya jawab ini kami sunting dari rubrik Konsultasi Syariah Hidayatullah.com yang diasuh oleh Ust Abdul Kholiq, Lc. MA. Semoga bermanfaat!
Assalamu alaikum Wr, Wb
Saya Hamba Allah, seorang istri yang taat suami. Insya Allah
sudah menjadi keputusan saya untuk membolehkan suami menikah lagi. Dalam
waktu dekat ini, suami akan melaksanakan pernikahan secara sirri tanpa
pengetahuan keluarga suami dan saya (istri pertama), karena takut
terjadi salah kaprah dalam keluarga besar kami. Calon istri kedua dengan
latar belakang keluarga yang broken-home, sampai sekarang belum mendapat wali, sudah siap menikah. Ayah dari calon istri kedua sudah tak pernah ada untuk memberi tanggung jawab pada putrinya.
Pertanyaan saya:
1. Bolehkah suami saya menikah secara sirri?
2. Bagaimana jika ayah dari calon istri tidak ada/ tidak bersedia menjadi wali dari mempelai wanita, apa boleh memakai wali hakim?
2. Bagaimana jika ayah dari calon istri tidak ada/ tidak bersedia menjadi wali dari mempelai wanita, apa boleh memakai wali hakim?
Wassalamu alaikum war. Wb
Hamba Allah, Surabaya
Jawab :
Wa’alaikum Salam
Saudariku –semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada anda sekeluarga-,
keteguhan anda untuk selalu taat kepada suami dan mendukungnya untuk
berpoligami –yang saya yakin dengan niat mulia- adalah sesuatu yang
patut mendapat apresiasi. Saya yakin pula, bahwa anda berdua sedang
mencari dan mempersiapkan cara
terbaik untuk melangsungkannya, dengan mempertimbangkan faktor keluarga
suami dan keluarga anda sendiri, serta aspek syar’inya. Yang jelas,
siapapun menginginkan suatu yang baik, mestilah dilakukan dengan cara
yang terbaik pula, utamanya dalam perspektif syariat.
Perlu diketahui nikah sirri itu mempunyai dua makna yang berbeda
berdasar dua sudut pandang yang berbeda yaitu sirri secara fikih dan
sirri secara hukum positif UU perkawinan atau pemerintah. Yang disebut
dengan nikah sirri dalam pandangan fikih adalah akad nikah yang
berlangsung dengan melengkapi syarat dan rukun nikah termasuk ada wali
dan dua saksi, namun semua pihak bersepakat/setuju untuk merahasiakan
pernikahan itu, baik dicatatkan di KUA maupun tidak, walaupun jika
dicatatkan kerahasiaan itu menjadi berkurang. Sedangkan sirri secara UU
perkawinan adalah setiap pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA, baik
semua pihak yang terlibat bersepakat menyembunyikannya maupun tidak.
Bahkan walaupun diadakan walimah besar-besaran selama belum diresmikan
di KUA tetap saja secara hukum positif dianggap sebagai nikah sirri.
Secara hukum, nikah sirri secara fikih dalam pandangan jumhur
ulama –yaitu Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah- hukumnya adalah sah,
hanya saja madzhab Hambali menegaskan bahwa nikah tersebut makruh.
Mereka beralasan, bahwa kesepakatan merahasiakan itu tidak mempunyai
pengaruh terhadap ke”sah” an akad. Sebab keberadaan dua saksi dalam forum akad tersebut sudah memenuhi standard minimal pengumuman dan terbebas dari predikat sirri (rahasia).
Berbeda dengan jumhur, Malikiyyah menyatakan bahwa nikah sirri secara
fikih adalah cacat dan tidak memenuhi syarat yaitu pengumuman, baik itu
dengan tabuhan rebana, mengundang banyak orang selain saksi dan
sebagainya.(Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, VII/71,81)
Bahkan al-Zuhri dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mengumumkan
pernikahan adalah fardhu konsekwensinya pernikahan sirri harus
dibatalkan (faskh) pihak berwenang (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, V/262). Intinya pernikahan sirri ala fikih ini adalah bermasalah. Sebab tidak logis bila tanpa masalah harus disembunyikan.
Adapun pernikahan sirri versi pemerintah –sebagaimana di atas- selama secara fikih bukan sirri, maka
tidak mempengaruhi keabsahan nikah tersebut. Hanya saja, karena aturan
pemerintah untuk mendaftarkan secara resmi itu adalah sesuatu yang
berdasar pada kemaslahatan umum, maka melanggarnya mungkin berdosa
kecuali dalam kondisi darurat. Kemaslahatan tersebut utamanya terkait
dengan perlindungan hak terhadap istri dan anak. Maka dari itu, saya
menyarankan agar suami anda tidak menempuh cara ini, apalagi menggabung
dua macam sirri baik secara fikih maupun pemerintah.
Terkait dengan masalah berwali hakim, maka dari berbagai ulasan ulama
berdasar pada dalil secara ringkas dapat dikatakan bahwa hal itu boleh
bila memenuhi salah satu kondisi berikut yaitu wali nasab (ada hubungan darah) tidak ada sama sekali, wali nasab enggan(‘adhl) padahal keduanya se-kufu, wali nasab berada
di tempat yang jauh sejauh jarak qashar shalat dari tempat wanita yang
akan menikah, wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui
keberadaannya, hidup atau matinya, calon suami juga adalah wali nikah
perempuan dan wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.
Pada kasus suami anda, penting untuk dicari dahulu kejelasan keberadaan
wali calon istri keduanya dan sebaiknya dilangsungkan berdasarkan
pertimbangan mendalam dari ahlinya dan yang berwenang di KUA agar
kemuliaan pernikahan tetap terjaga. Wallahu a’lam
(esqiel/muslimzone.com)
+ komentar + 1 komentar
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
Saya hendak bertanya, bagaimana hukumnya kalau suami berkata :
"Kalau sudah tidak kuat dengan Rumah Tangga ini, ya sudah selesai dan angkat kaki dari rumah ini". "Lalu sang Istri meminta suami untuk mengulanginya dan kemudian suami mengulanginya lagi dan itu dalam keadaan sadar". Itu hukumnya gimana ?
Sang Suami berpoligami dan ini adalah istri pertama yang bertanya. Sang istri sudah legowo dan ikhlas menerima poligami ini bahkan sang istri yang mengurusi anak2 dari istri yang lain bahkan pula ada yang diurus dari sang anak lepas TK s/d kls 5 SD dan sang istri tidak pernah menuntut harta. Sang istri juga tidak mendapat nafkah batin yang layak dan tetap bersabar.
Sampai pada masa sang istri membicarakan mengapa keuangan yang begitu boros untuk istri ke 2. Ringkas cerita suami membela istri ke 2 kemudian keluarlah kata-kata tersebut. Dan sejak itu sekitar 15 bulan sudah berjalan dan sejak itu tidak pernah berjima lagi dalam arti sang suami sudah tidak memberi nafkah batin.
Mohon bagaimana sebaiknya sikap istri pertama sesuai syariat islam kepada hal demikian ? Syukron
Posting Komentar