Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah”
dengan fasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan,
bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada
diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada
orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata
akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi
gelar-gelar buruk kepada sesama.
Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali
tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka
menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya
terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka.
Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat
bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar
kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga
keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan
mencela dan menghina sesama.
Larangan Mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ
عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau
kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang
dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan
bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang
saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya
akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang
terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat,
begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim
jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya
dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau
menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan
lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah
Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25,
Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum
diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar
memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya.
Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
“Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang
siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”,
jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak
dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat
tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam
perkataannya.
Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas
dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen
daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk
menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya,
hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh,
menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh.
Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya,
mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu
dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan
itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin
menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat
kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang
memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang
diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al
Maktabah as Salafiyyah)
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak
seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya
dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
(1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
(2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik
untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia
keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum
ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan
kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena
itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang
musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih
besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’aam [6]: 108)
Menyoal Kenyataan
Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj
murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka
sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau
tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek
celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar
dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan
yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih
dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun,
celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah
yang diperbolehkan.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum
nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut
beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini
adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka
disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26
dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama
mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan
orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini,
mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa
menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak
boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad
mereka, bukan karena hawa nafsu.
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan
suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang
lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata,
“Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang
seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal
Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini
dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang
mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan
tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena
mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari
permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak
ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata,
“Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah
yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan
ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para
ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al
Fatawa: 20/207)
Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti
ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun
mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia
hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas
untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang
taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.”
(Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut
adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya),
adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada
pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah:
1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa
Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang
dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih
(jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan
dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang
mengambil pendapat tersebut.
Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata,
maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah
cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas
maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh
adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.
Abu Khalid Resa Gunarsa – Rancabogo, Subang, 27 April 2013
Posting Komentar