Bid’ah adalah keyakinan atau perbuatan yang bertentangan dengan al Qur`an, Sunnah dan Ijmak (Ibnu Tamiyyah). Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun sangat mewanti-wanti umatnya agar menjauhi perbuatan bid’ah.
Hadis-hadisnya sangat terkenal. Para ulama dari kalangan para sahabat,
tabi’iin, taabi’u at-tabiin dan setelah mereka hingga saat ini juga
telah banyak menjelaskan larangan mengada-ngada dalam agama, baik dalam
urusan keyakinan maupun urusan amal perbuatan.
Tidak diragukan lagi, bahwa bid’ah termasuk kategori kemungkaran yang
harus dirubah dan diingkari, manakala ia terjadi pada sebuah masyarakat
muslim. Membiarkannya sama dengan membiarkan kemungkaran atau
pelanggaran lainnya dalam agama. Bahkan, bid’ah menurut sejumlah para
ulama lebih berat dari maksiat.
Seolah menjadi niscaya, dari sejak masa
para sahabat seninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bid’ah
dalam agama telah muncul dan terus ada hingga saat ini. Dengan beragam
bentuk dan prakteknya, bid’ah telah sangat menjamur dalam kehidupan
beragama masyarakat muslim. Semakin jauh dari ilmu dan bimbingan para
ulama rabbani yang dalam keilmuannya, biasanya praktek bid’ah kian
merajalela.
Bid’ah bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada bid’ah mukaffirah (berkonsekwensi kafir) atau ghair mukaffirah (tidak berkonsekwensi kafir), ada bid’ah dalam akidah ada juga dalam ibadah, ada bid’ah asliyyah ada juga bid’ah idhafiyyah.
Diantara bid’ah yang sering terjadi adalah, kebid’ahan yang bercampur
dengan perbuatan yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara asal.
Dari satu sisi bid’ah, dari sisi yang lain sesuai sunnah. Dari satu
sisi tidak ada dalilnya, namun dari sisi yang lain didukung oleh dalil.
Dari sinilah terkadang, keputusan untuk merubah dan melarang suatu
praktek bid’ah juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang
penulis sebut dengan neraca maslahat.
Diantara salah satu ulama yang terkenal tegas dengan lisan dan
tulisannya dalam mengungkap dan menjelaskan bentuk-bentuk dan
praktek-praktek kebid’ahan adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Namun
demikian, beliau ternyata memiliki suatu pandangan yang bijak, bervisi
maslahat dan tidak serampangan dalam berinteraksi dengan praktek bid’ah
yang muncul di tengah-tengah kaum muslimin. Dasar-dasar maqashid syari’ah,
dalam hal ini, menjadi pijakan beliau dalam memutuskan apakah suatu
perbuatan bid’ah yang muncul harus dilarang secara langsung atau tidak.
Berikut penulis nukilkan pandangan beliau dalam hal ini:
ولهذا لما تغير الناس وصاروا يفعلون بدعة
ويتركون شرعة، وفي البدعة مصلحة ما إن تركوها ذهبت المصلحة ولم يأتو
بالمشروع، صار الواجب أمرهم بالمشروع المصلح لتلك المصلحة مع النهي عن
البدعة، وإن لم يمكن ذلك فعل ما يمكن وقدم الراجح. فإذا كانت مصلحة الفعل
أهم لم ينه عنه لما فيه من المفسدة إلا مع تحصيل المصلحة، وإن كانت مفسدته
أهم نهي عنه.
“Oleh karena itu, tatkala manusia telah berubah menjadi gemar
melakukan bid’ah dan meninggalkan yang disyariatkan, sementara dalam
suatu perbuatan bid’ah terdapat suatu maslahat yang jika mereka
meninggalkan perbuatan bid’ah itu, kemaslahatan tersebut pun akan ikut
hilang dan mereka pun tidak melakukannya sesuai syariat. Maka, dalam
kondisi ini, yang wajib adalah memerintahkan mereka kepada perbuatan
yang disyariatkan yang dapat mewujudkan kemaslahatan tadi dan melarang
dari perbuatan bid’ah. Namun, jika hal itu tidak mungkin, maka
kerjakanlah yang memungkinkan dan dahulukan yang lebih utama. Jika
maslahatnya lebih besar, maka perbuatan itu tidak dilarang, karena
walaupun padanya ada kerusakan, namun juga dapat mewujudkan maslahat.
Jika kerusakannya lebih besar, maka hal itu dilarang.”
وهذه الوقوف التى على الترب فيها من المصلحة حفظ
القرآن وتلاوته، وكون هذه الأموال معونة على ذلك وحاضة عليه، إذ قد يدرس
حفظ القرآن في بعض البلاد بسبب عدم الأسباب الحاملة عليه، وفيها من مفاسد
أخر: من حصول القراءة لغير الله، والتآكل بالقرآن، وقراءته على غير الوجه
المشروع، واشتغال النفوس بذلك فالواجب النهي عن ذلك والمنع من وإبطاله، وإن
ظن حصول مفسدة أكثر من ذلك لم يدفع أدنى الفسادين باحتمال أعلاهما.
Dan membaca al Qur`an di kubur dengan upah tertentu, padanya terdapat
maslahat, yaitu berlangsungnya kegiatan menghapal al Qur`an dan
membacanya, harta ini pun (upah membaca al Qur`an) menjadi mendorong dan
motivasi untuk hal itu. Karena terkadang, kegiatan menghapal Al Qur`an
dapat punah di sebagian daerah disebabkan karena tidak ada sarana ke
arah sana. Namun, dalam hal ini juga terdapat kerusakan-kerusakan,
diantaranya: membaca al Qur`an bukan karena Allah, mencari makan dengan
al Qur`an, membacanya dengan cara yang tidak disyariatkan dan sibuk
dengan hal itu dari bacaan yang disyariatkan. Maka, jika dimungkinkan
mewujudkan maslahat ini tanpa semua itu, wajib untuk melarang semua
perbuatan tersebut dan menghilangkannya. Namun jika diperkirakan
kerusakan yang timbul lebih besar dari itu, maka suatu kerusakan tidak
dicegah, dalam keadaan diperkirakan akan memunculkan kerusakan yang
lebih besar.” (Jaami’ul Masaa`il: Vol. 3, hal. 134, tahqiq: Muhammad Aziz Syams)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad,,
Malam Jum’at, 26 Syawwal 1435 H (21/08/2014)
Posting Komentar