Bantu Menghafal Al Qur'an

Headlines News :
Home » » Alangkah Sejuknya Hidup di Jalan Dakwah

Alangkah Sejuknya Hidup di Jalan Dakwah

Written By Unknown on Rabu, 18 Januari 2012 | 21.33

Setiap hari Jum’at, sehabis shalat, adalah kebiasaan Sang Imam bersama putranya yang berusia sekitar sebelas tahun, keluar pada salah satu sisi kota Amsterdam untuk membagi kutayyibat (buku-buku kecil), berjudul At-Thoriq ila al-Jannah (Jalan Menuju Surga), beserta beberapa selebaran tentang Islam.
Suatu hari, setelah zhuhur jum’at, tibalah saatnya, Sang Imam dan putranya turun ke jalan untuk membagikan kutayyibat tersebut. Cuaca di luar sangat dingin. Apalagi hujan sedang mengguyur tanpa jeda. Sang Anak mengenakan pakaian sedemikian tebal agar tidak tersengat dingin.
“Baiklah ayah…Aku sudah siap!” Sang Anak bertutur.
“Siap untuk apa?” tanya Sang Ayah.
“Wahai Ayah…sudah tiba saatnya untuk turun ke jalan membagikan buku-buku Islam ini” jawabnya.
“Cuaca di luar sangat dingin, apalagi hujan begitu deras…” tepis Sang ayah.
Tiba-tiba Sang Anak membuat Ayahnya tertegun kala bertutur:
“Akan tetapi—wahai Ayah—,di luar masih ada orang-orang yang mengayunkan langkah menuju ke Neraka, meski sedang hujan…!”
(sejenak Sang Ayah terdiam)
“Tapi Saya tidak bisa keluar dengan cuaca seperti ini” ujarnya kepada putranya.
“Apakah boleh—wahai Ayah—saya keluar untuk membagikan buku-buku ini?” pinta Sang anak .
Sang Ayah sedikit ragu…lantas berkata: “Kamu boleh berangkat.” Lalu membekalinya beberapa buku-buku kecil.
“Syukran, Ayah,” tutur Sang Anak berterima kasih.
Meskipun anak ini baru berusia sekitar sebelas tahun, namun Ia dengan kakinya yang masih sangat lemah mampu melangkah di jalan-jalan kota, di tengah udara dingin serta guyuran hujan, membagi buku-buku Islam tersebut. Dari pintu ke pintu dan kepada siapa saja yang Ia temui di jalan.
Berjalan selama dua jam, membagi buku di bawah guyuran hujan, tersisalah satu buku terakhir. Ia senantiasa mencari orang yang lewat untuk diberikannya buku itu. Namun sepertinya jalan begitu sepi. Ia pun berbalik ke arah trotoar di hadapannya. Berjalan ke arah rumah pertama yang ia lihat, untuk ia berikan buku itu kepada siapa saja yang ia temui di dalamnya…
Bel rumah berdering, namun tak seorang pun menyahut. Ia mengulanginya berkali-kali. Mengulangi dan mengulanginya lagi…
Sebenarnya Ia ingin pergi, tapi seakan ada sesuatu yang menghalanginya. Ia menoleh kembali ke arah pintu rumah itu. Sekali lagi Ia pencet bel. Lantas Ia mulai mengetuk pintu dengan keras. Sementara Ia tak tahu-menahu apa sebenarnya yang membuatnya tinggal begitu lama menunggu di depan pintu rumah itu.
Ia terus mengetuk pintu. Dan kali ini, perlahan pintu terbuka. Seorang wanita yang telah berumur berdiri di depan pintu. Nampak pada raut wajahnya tanda-tanda kesedihan yang mendalam. Wanita itu berkata:
“Apa yang dapat aku lakukan untukmu, wanai anakku?”
Dengan tatapan dan senyuman yang membuat Dunia sesaat bercahaya, Sang Anak menjawab:
“Nyonya…Aku minta maaf jika aku mengganggumu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sebenarnya Allah mencintaimu; Allah peduli denganmu. Dan aku datang untuk memberimu buku terakhir yang ada padaku; yang akan memberitahukan padamu segala sesuatu tentang Allah; tentang hakikat penciptaan manusia dan bagaimana Allah membagi-bagikan keridhoan-Nya.”
Ia memberikan buku itu, lalu pamit, dan Nenek tersebut berterimah kasih kepadanya.
Sepekan kemudian, dan sehabis shalat jum’at, Sang Imam menyampaikan ceramah. Pada akhir ceramahnya Ia memberi waktu untuk bertanya.
“Apakah ada yang ingin bertanya, atau ingin menyampaikan sesuatu?!” Tanya Sang Imam kepada jamaah.
Perlahan, pada shaf paling belakang, di tengah jamaah kaum wanita, seorang wanita tua hendak memperdengarkan suaranya. Lantas Ia pun berkata:
“Tak seorang pun di sini yang mengenaliku. Aku pun tak pernah sebelumnya datang kesini…
Pekan lalu, aku belum menjadi seorang wanita muslimah, bahkan belum berpikir untuk itu…
Beberapa bulan yang silam suamiku meninggal dunia. Ia meninggalkanku sebatang kara di dunia ini…
Dan tepat pada hari jum’at yang lalu, di tengah cuaca dingin yang menusuk tulang disertai hujan lebat, aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidupku dengan bunuh diri, lantaran aku tak punya harapan lagi untuk hidup di dunia ini. Aku pun mengambil seutas tali dan kursi kemudian aku naik ke lantai paling atas rumahku. Mengikat ujung tali di salah satu rangka atap dan yang lainnya di leherku. Saat itu, jiwaku sungguh terselimuti kabut kesedihan mendalam, dan sebentar lagi aku akan segera melompat…
Tiba-tiba aku mendengar suara bel dari lantai bawah rumah. Dalam hati, aku berkata “sebentar lagi dia juga akan pergi”…Aku pun menunggu dan menunggu. Akan tetapi suara bel dan ketukan pintu semakin keras. Sekali lagi dalam hatiku terbersit “siapakah gerangan di muka bumi ini yang berbuat seperti ini…?!, ‘Tak mungkin ada yang datang mengetuk pintu rumahku untuk melihatku…!!
Tali kulepas dari leherku. Aku berkata bahwa aku akan pergi melihat siapa yang terus menerus mengetuk pintu. Tatkala ku buka pintu…aku seakan ‘tak percaya apa yang aku saksikan;… seorang anak kecil menatapku sambil tersenyum, ‘senyuman malaikat’ yang tak pernah aku saksikan sebelumnya…
Sebenarnya aku tidak sanggup melukiskannya kepada anda sekalian, kalimat-kalimat yang terurai dari lisan kecilnya begitu menyentuh hatiku, yang hakikatnya telah mati lalu tiba-tiba hidup kembali sekali lagi. Ia berkata padaku dengan suara malaikatnya, “Nyonya…Aku datang padamu untuk memberitahumu bahwa sebenarnya Allah mencintaimu, dan peduli denganmu.” Kemudian memberiku buku yang aku bawa ini; “Jalan Menuju Surga”.
Setelah anak itu datang padaku, jiwaku sedikit kembali tenang. Aku menutup pintu di tengah cuaca dingin dan hujan itu. Dengan tenang, perlahan aku membuka dan membaca kalimat perkalimat yang tergores dalam buku ini. Kemudian aku pergi ke lantai atas dan melepas tali dan kursi itu. Sebab, mulai saat ini… aku ‘tak ‘kan pernah berhasil selamanya untuk bunuh diri…! Kalian lihat! sekarang saya begitu bahagia; saya telah mengenal hakikat Ilah al-Wahid (Allah Yang Satu). Dan nama ‘Islamic Center’, tercatat pada sampul buku ini. Aku sendiri datang ke tempat ini untuk mengucapkan “Alhamdulillah”, saya berterimah kasih kepada ‘Malaikat Kecil’ itu. Yang telah datang kepadaku pada waktu yang sangat tepat; saat itu ruhku telah terselamatkan dari kekekalan di dalam Neraka Jahim.”
Maka ‘tak sepasang mata pun di dalam masjid itu tanpa meneteskan air mata. Semua hati menjadi luluh. Suara “takbiiir…” menggemah memenuhi ruang masjid. Sang Imam sekaligus Ayah itu pun turun dari mimbar menuju ke shaf terdepan dimana Sang Anak duduk; Sang malaikat kecil…
Dengan erat Ia pun mendekapnya seiring isakan tangis begitu seduh di tengah-tengah manusia tanpa ia peduli. Sebab, mungkin ‘tak seorang ayah pun di tengah jamaah itu yang paling bangga dengan putranya selain dia…”
Sampai di sini, kisah itu berakhir.
Dan sepertinya ‘tak ada kalimat yang paling pantas ter-urai kecuali “Subhanallah…!” Alangkah sejuknya hidup di jalan da’wah…!
Lantas, faedah apakah yang bisa kita tuai dari kisah di atas?
Bukankah itu adalah bukti kebenaran dan keagungan Islam?, sekaligus teguran bagi kita semua akan lemahnya semangat da’wah selama ini —kalau tidak dikatakan nihil sama sekali!.
Lalu, akankah kita termotifasi untuk kembali menyisingkan lengan baju, mengeratkan ‘niat’ untuk menyebarkan Dien yang sama kita yakini kebenarannya ini…?
Dan bukankah ini adalah pelajaran bagi kita semua, bahwa di luar sana, begitu banyak orang-orang yang mungkin tanpa sadar mengayunkan langkahnya menuju ke Neraka, dan sangat butuh uluran tangan kita; butuh nasehat dan pencerahan. Meskipun mungkin mereka masih malu atau masih nampak angkuh menerimanya, padahal mereka sebenarnya mendustai diri dan fitrah mereka sendiri.
Semua ini…jawabannya kembali pada diri kita masing-masing.
Wabillahittaufiq!
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kajian Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger