Oleh al-’Allamah Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin,
shalawat dan salam yang sempurna bagi pemimpin para rasul, imam orang2
bertakwa, nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wasallam, juga para
shahabatnya dan orang2 yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari
kiamat.
Amma
ba’d, risalah ini merupakan nasehat bagi para pekerja dan pegawai dalam
menunaikan pekerjaan yang ditetapkan pada mereka. Diharapkan risalah
ini dapat memberi manfaat dan menolong para pekerja dalam mengikhlaskan
niat, semangat dalam bekerja, dan mengerjakan kewajibannya. Dan aku
memohon taufik kepada Allah.
Ayat-ayat Seputar Kewajiban Menunaikan Amanat
Diantara ayat-ayat yang memerintahkan untuk menunaikan amanat dan larangan berkhianat adalah firman Allah:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu, Sesunguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (An Nisaa:58)”
Berkata
Ibnu Katsir dalam tafsirnya: Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia
memerintahkan untuk menunaikan menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya. Dari hadits Al Hasan dari Samurah bahwasannya Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan amanat kepada yang memberikannya kepadamu dan jangan khianati yang mengkhianatimu” riwayat Imam Ahmad dan ahli sunan.
Dalil
ini mencakup seluruh amanat yang wajib ditunaikan setiap orang, yaitu
hak2 Allah ‘Azza wa Jalla pada hambanya berupa shalat, zakat, puasa,
kafarat, nadzar, dan lainnya yang diamanatkan padanya tidak datang
amanat ini kepada seorang hamba.
Termasuk
juga hak-hak sesama manusia seperti titipan dan lainnya yang
diamanatkan padanya tanpa melihat niatannya tersebut. Maka Allah ‘Azza
wa Jalla memerintahkan untuk menunaikannya. Siapa yang tidak
menunaikannya di dunia, dia akan diazab di hari kiamat.
Allah berfirman: “Wahai
orang-orang beriman, jangan kalian mengkhianati Allah dan RasulNya
serta mengkhianati amanah kalian, padahal kalian mengetahuinya”.
Berkata Ibnu Katsir: “Khianat disini mencakup semua dosa, baik dosa
kecil maupun dosa besar, lazim ataupun muta’addi. Berkata Ali bin Abi
Thalhah: “jangan mengkhianati amanah kalian”, amanah yang dimaksud adalah amalan2 yang diamanatkan Allah pada hambaNya berupa kewajiban fardhu.
Dia berkata: “jangan mengkhianati” artinya jangan membatalkan amanat.
Dalam riwayat lain dia berkata: “jangan mengkhianati Allah dan RasulNya” yakni dengan meninggalkan sunnahnya dan mengerjakan maksiat.”
Allah berfirman: “Kami
tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung2, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu pada manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim
dan amat bodoh”. (Al Ahzab 72)
Berkata
Ibnu Katsir rahimahullah setelah mengungkapkan pendapat para ahli
tafsir tentang tafsir amanat, yaitu makna diantaranya adalah ketaatan,
kewajiban2, agama, dan hudud. Maka dia berkata: Semua pendapat ini tidak
saling bertolak belakang, bahkan saling mendukung. Yaitu maknanya
kembali pada beban taklif, ketundukkan, perintah dan larangan beserta
syarat2nya. Maka siapa yang melaksanakannya mendapat pahala, adapun yang
meninggalkan akan disiksa. Maka amanah tersebut dipikul oleh manusia
padahal mereka lemah, bodoh, dan zhalim – kecuali orang2 yang
menjalankan perintah Allah.
Allah berfirman: “Dan orang2 yang memelihara amanat2 (yang dipikulnya) dan janjinya.” (al Ma’arij:32).
Berkata
Ibnu Katsir rahimahullah, “Jika diberi amanat dia tidak mengkhianati,
jika dia berjanji maka tidak mengingkari. Ini adalah sifatnya kaum
mukminin. Berbeda dengan kaum munafik sebagaimana diriwayatkan dalam
hadits yang shahih:
Ciri orang munafik ada tiga: “Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya (amanat) dia berkhianat”. Dalam riwayat lain: “Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia meninggalkan, jika berselisih dia berbuat jahat,”.
Cukup
banyak hadits2 rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara
seputar menunaikan amanat dan ancaman meninggalkannya, diantaranya:
1.
Dari Abu Hurairah dia berkata: “Tatkala kami dalam suatu majelis
mendengarkan Nabi berbicara bersama satu kaum, datang seorang arab
badui. Dia berkata: “Kapan terjadinya kiamat”. Maka Rasulullah teus
berbicara dengan kaum itu sampai sebagian mereka berkata: Nabi mendengar
pertanyaannya, tapi membenci pertanyaan tersebut. Berkata yang lain:
Bahkan Nabi belum dengar pertanyaannya. Sampai ketika beliau selesai
bicara dengan mereka, dia berkata, “Siapa yang bertanya tentang hari
kiamat?”. Dijawab, “saya ya Rasulullah”. Nabi berkata, “Jika amanat
ditinggalkan, maka tunggulah waktunya kiamat”. Dia bertanya, “Bagaimana
amanat ditinggalkan?” Nabi berkata, “Jika suatu perkara diserahkan
kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah waktunya kiamat”. (HR.
Bukhari:59)
2. Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda, “Sampaikan amanat kepada yang memberikannya kepadamu dan jangan khianati yang mengkhianatimu” (HR. Abu Daud: 3535, Tirmidzi: 1264, dia berkata, “Hadits Hasan Gharib”, lih. Silsilah Shahihah Al Albany:424)
3.
Dari Anas dia berkata, Rasulullah bersabda, “Pertama kali yang hilang
dari agama kalian adalah amanat dan yang terakhir adalah Shalat”. (HR.
Al Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq:28, lih. Silsilah Shahihah Al
Albany:1739)
4. Dari Abu Hurairah dari Nabi berkata, “Ciri orang munafik ada tiga: “Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya (amanat) dia berkhianat”. (HR. Bukhari: 33, Muslim: 107).
Pegawai yang mengerjakan Tugasnya dengan Sungguh2 dan Ikhlas Mendapat Ganjaran di Dunia dan Akherat
Jika
seorang pegawai menunaikan tugasnya sungguh2 dalam rangka mengharap
pahala Allah, terlepaslah ikatan kewajibannya dan berhak atas pahala
dari pekerjaannya di dunia dan akherat. Hal ini berdasarkan dalil2 yang
menunjukkan pahala dan ganjaran yang diperoleh seseorang dari pekerjaan
yang dikerjakan dengan perhitungan dan mengharap wajah Allah. Allah
berfirman:
“Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan2 mereka, kecuali bisikan2 dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian
karena mencari keredaan Allah, maka kelak Kami memberikan kepadanya
pahala yang besar”. (An Nisaa’:114)
Diriwayatkan dalam Al Bukhari (55) dan Muslim (1002) dari Abi Mas’ud bahwa Rasulullah bersabda, “Jika seseorang menginfakkan hasil kerjanya kepada keluarganya maka hal itu merupakan sedekah”.
Beliau juga berkata kepada Saad bin Abi Waqash, “Tidaklah
kamu infakkan nafkah dalm rangka mengharap wajah Allah kecuali akan
diberi pahala sekalipun hanya suapan yang kamu suapkan ke istrimu” (HR Bukhari (5354), Muslim (1628)).
Dalil-dalil
ini menunjukkan bahwa seorang muslim mendapat pahala jika melaksanakan
kewajibannya semata-mata mengharap wajah Allah.
Menjaga Waktu Khusus untuk Bekerja Demi Lancarnya Pekerjaan
Wajib
bagi setiap pekerja dan pegawai menyibukkan diri pada waktu kerja
khusus pada pekerjaannya, maka tidak boleh melaksanakan urusan lain yang
tidak berkaitan dengan kewajibannya. Tidak boleh pula menghabiskan
waktu dalam urusan pribadinya atau urusan kawannya jika tidak ada
hubungan dengan pekerjaannya. Hal ini karena waktu kerja itu bukan milik
pegawai atau pekerja, tetapi untuk menyelesaikan tugas yang memang
digaji untuk itu.
Syaikh Al Ma’mar bin Ali Al Baghdadi (wafat tahun 507 H) pernah memberi nasehat tentang aturan Kementerian Kerajaan:
“Wahai
pemimpin Islam! Seorang kepala pemerintahan itu dipilih untuk suatu
tujuan dan sebagai utusan. Maka jika mereka mau akan dipilih, jika tidak
maka dipecat. Maka siapa yang dipilih sebagai kepala pemerintahan dia
tidak boleh memilih tujuan dan untuk apa dia diutus. Karena dia adalah
pemimpin yang sesungguhnya digaji, maka waktunya telah dibeli dan diapun
menikmati gajinya. Maka tidak ada waktu siangnya yang bebas digunakan
sekehendaknya sekalipun untuk shalat sunnah ataupun beri’tikaf. Karena
hal itu sunnah, sedangkan menunaikan tugasnya adalah wajib.”
Kemudian
dia berkata, “Maka diami kuburmu sebagaimana dulu kamu diami istanamu”.
(Dzil thabaqatul hanabilah oleh Ibnu Rajab, I/107)
Sebagaimana
orang yang ingin mengambil upahnya penuh, dia tidak mau upahnya
dipotong. Jika demikian, maka tidak boleh pula dia menggunakan waktu
kerjanya selain menyelesaikan tugas. Allah telah mencela al Muthaffifin
(orang2 yang curang) dalam urusan takaran dan timbangan. Mereka minta
hak mereka dipenuhi tapi dengan mengurangi hak2 pihak lain. Maka Allah
berfirman:
“Kecelakaan
besarlah bagi orang2 yang curang. (Yaitu) Orang2 yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang dari orang lain mereka mengurangi. Tidakkah
orang2 itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu
hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam?” (QS.Al Muthaffifin: 1-6).
Memilih Pekerja dan Pegawai
Hal
terpenting dalam memilih pekerja dan pegawai adalah hendaknya memilih
yang kuat dan dapat dipercaya (amanah). Dengan kekuatan memungkinkan
pekerja menyelesaikan tugasnya dan dengan melihat ke-amanatan menjadikan
pekerja menyelesaikan tugas untuk lepas dari kewajiban. Sebab dengan
sifat amanah maka segala sesuatu diletakkan pada proporsinya, sedangkan
dengan kekuatan memungkinkan selesainya kewajiban.
Allah
menceritakan tentang kisah salah satu gadis dari kedua anak perempuan
bapak dari negeri Madyan tatkala berkata pada ayahnya setelah Musa
‘alaihissalam memberi minum ternak mereka ”Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, sesungguhnya yang
paling baik untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya”. (Al Qashash:26).
Allah
juga menceritakan tentang kisah Ifrit dari golongan Jin yang menyatakan
kesanggupan membawa singgasana Bilqis pada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam,
“Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesungguhnya aku
benar2 kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. (An Naml:39).
Maknanya, sesungguhnya Ifrit menggabungkan antara kemampuan untuk mengangkut dan mendatangkan singgasana dan isinya dengan utuh.
Allah juga menceritakan tentang kisah Yusuf ‘alaihissalam ketika berkata pada raja, “Jadikanlah aku bendaharawan negara, sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” (Yusuf:55).
Lawan
dari kuat dan amanah adalah lemah dan khianat, yaitu penyebab paling
utama ketidakberesan kerja dan jadi alasan yang paling utama untuk
memecat.
Umar
bin Kaththab ÑÖí Çááå Úäå memilih Sa’ad bin Abi Waqqash ÑÖí Çááå Úäå
sebagai amir di Kufah. Tatkala sebagian orang yang dengki pada Sa’ad
mengadukan hal2 dusta pada Umar, maka Umar berpandangan bahwa memecat
Sa’ad lebih mashlahat demi menghindari fitnah dan supaya orang2 tidak
menganiaya Sa’ad. Tetapi ketika beliau sakit yang menyebabkan
kematiannya, Umar memilih 6 sahabat Rasulullah sebagai calon pengganti
khalifah setelahnya, sedangkan Sa’ad termasuk salah satu kandidat.
Beliau khawatir Sa’ad menyangka bahwa alasannya memecat Sa’ad dahulu
karena ketidakberesan mengatur wilayah. Maka hilanglah persangkaan itu
dengan perkataan Umar, “Jika Sa’ad terpilih menjadi pemimpin
maka dia memang layak, tetapi jika tidak maka- wahai sekalian- mintalah
bantuannya dalam dalam berbagai perkara, aku dahulu memecatnya bukan
karena dia lemah dan khianat” (HR Bukhari: 3700).
Dalam shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak pekerjakan aku? Maka beliau menepuk pundakku dan berkata,
“Wahai Abu Dzar, kamu itu lemah, padahal pekerjaan itu sebuah amanah
dan pada hari kiamat nanti cuma akan menjadi penyesalan kecuali bagi
yang menunaikan hak dan tanggung jawabnya.”
Dalam riwayat lain (1826) dari Abu Dzar bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata, “Ya
Abu Dzar, menurutku kamu itu lemah, sedangkan aku suka bagimu seperti
apa yang aku inginkan bagi diriku. Maka jangan kamu memerintah diantara
dua dan jangan pula menjadi pengurus harta anak yatim”.
Pegawai Senior Teladan dalam Kesungguhan dan Kemalasan
Jika
pegawai senior mengerjakan tugasnya dengan sempurna maka ia akan
diikuti yuniornya, bahkan para petinggi akan membicarakan prestasinya.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Setiap
kalian adalah pemimpin dan nanti akan ditanya tentang kepemimpinannya.
Maka seorang penguasa dia menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan dia akan
ditanya. Adapun laki2 menjadi kepala rumah dan dia akan ditanya,
sedangkan istrinya bertanggung jawab mengurus rumah dan anak2nya dan dia
akan ditanya. Seorang hamba pemimpin atas harta majikannya dan dia akan
ditanya. Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan dia akan ditanya
akan kepemimpinannya.” (HR. Bukhari (2554), Muslim (1829) dari Abdullah bin Umar)
Jika para senior senantiasa konsisten sepanjang kerjanya maka akan menjadi teladan bagi yang lain. Dikatakan oleh penyair, “Jika engkau bolos engkau bukan lagi pemimpin suatu urusan, lenyap segala kepemimpinannya diganti oleh yang lain”
Maknanya
jika kamu memerintah bawahanmu mengerjakan tugas, sedangkan kamu telah
lebih dulu mengerjakannya, maka mereka akan menurut segala perintahmu.
Perlakukan Orang Agar Diperlakukan yang Sama
Nasihat memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Agama itu nasihat, dikatakan, “Untuk siapa ya Rasulullah?” dijawab, “Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, Pemimpin kaum muslim dan rakyatnya” (HR. Muslim (55) dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dari.
Berkata Jarir bin Abdullah Al Bajali, “Kami berbai’at pada Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasehati setiap muslim” (HR. Bukhari (57), Muslim (56)).
Setiap
pekerja jika sedang butuh bantuan orang lain maka dia ingin dilayani
dengan baik. Demikian juga sebaliknya, dia juga harus melayani orang
lain dengan baik. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa
yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga maka
datangilah takdirnya, yaitu beriman pada Allah dan Hari Akhir. Dan
datangilah manusia sebagaimana kamu ingin didatangi olehnya”.
(HR. Muslim (1844) dalam hadits yang panjang dari Abdullah bin Amr
radhiallahu anhuma). Maknanya perlakukanlah orang sebagaimana kamu ingin
jika dilayani orang itu.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak beriman seseorang sampai dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya”. (HR. Bukhari (13), Muslim (45) dari Anas)
Allah mencela orang yang melayani orang lain dengan buruk tetapi inginnya dilayani sebaik2nya, sebagaimana firmanNya: “Kecelakaan
besarlah bagi orang2 yang curang. (Yaitu) Orang2 yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang dari orang lain mereka mengurangi.” (QS. Al Muthaffifin:1-3)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah
Azza wa Jalla mengharamkan kalian mendurhakai ibu, mengubur bayi hidup2
dan sangat membenci tiga hal: mendengarkan kabar burung, banyak
bertanya, dan menyia-nyiakan harta” (HR. Bukhari (2408), Muslim (593) dari Mughirah bin Syu’bah)
Dalam
hadits ini terkandung larangan mengumpul2 harta dan pelit, yaitu
mengambil bagiannya tetapi tidak mau membaginya untuk sesama. Allah
menyebutkan tentang penanggung anak2 yatim tentang kekhawatiran mereka
untuk meninggalkan keturunan mereka yang masih kecil. “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang2 yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak2 yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisaa:9).
Maknanya,
sebagaimana mereka ingin mengurus keturunan mereka yang lemah dengan
baik, maka begitu pula hendaknya dalam mengurus anak yatim yang mereka
tanggung.
Dahulukan Antrian Paling Awal
Termasuk
keadilan adalah tidak mengakhirkan permintaan pekerja yang datang awal
atau sebaliknya, mendahulukan permintaan pekerja yang datang akhir.
Hendaknya layani kebutuhan pekerja dari sisi antrian pertama sehingga
ada kelapangan bagi para pekerja dan mereka yang sedang mengajukan
permintaan. Hal ini dijelaskan dalam sunnah Rasul melalui sahabat Abu
Hurairah,
”Tatkala
kami dalam suatu majelis bersama Rasulullah yang sedang berdialog
dengan suatu kaum, datang seorang arab badwi sembari berkata, “Kapankah
Hari Kiamat?”.
Rasulullah terus melanjutkan dialognya sampai sebagian orang2 berkata, “Nabi dengar tetapi membenci pertanyaan tersebut”.
Sebagian lain menyahut, “Bahkan sebetulnya Nabi tidak dengar”.
Sampai ketika dialog beliau selesai, beliau berkata,”Mana yang tadi bertanya tentang kiamat?”.
Dijawab, “Saya, wahai Rasulullah”.
Maka Nabi berkata, “Jika sifat amanah telah disia-siakan maka tunggulah saatnya kiamat”
Penanya berkata, “Bagaimana bisa disia-siakan?”
Maka Nabi berkata, “Jika suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya maka tunggulah saatnya kiamat” (HR. Bukhari (59))
Dari
hadits ini disimpulkan bahwa Rasulullah tidak suka untuk segera
menjawab penanya tentang Hari Kiamat kecuali setelah selesai urusannya
berdialog dengan kaum lebih dahulu datang. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar
dalam penjelasan hadits ini, “Dari hadits ini diambil
pelajaran tentang mendahulukan yang awal. Begitu juga dalam memberi
fatwa, menetapkan hukum dan lain-lain”.
Dijelaskan pada riwayat hidup Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath thabari dalam Lisanul Mizan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, “Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalan Abu Ma’bad Utsman bin Ahmad Ad Dainuri, dia berkata,
“Aku menghadiri majelis Muhammad bin Jarir. Kemudian datang seorang
Menteri bernama Al Fadhl bin Ja’far bin Al Furat, padahal dia sudah
kedahuluan seseorang. Maka Ath Thabari berkata pada orang itu, “Kamu sudah membaca?”. Kemudian beliau berisyarat pada Menteri lalu berkata, “Jika sekarang giliranmu maka tidak usah pedulikan tentang Dijlah maupun Furat”.
Aku katakan, “Ini merupakan keutamaan dan kefasihan beliau yang tidak berpaling kepada anak-anak dunia”.
(Dijlah atau Tigris adl. nama sungai di Baghdad, begitu juga Furat. Ini adalah sindiran terhadap Menteri Al Furat-pent)
Keutamaan Sifat iffah (menjaga kehormatan diri) dan Anti Suap Maupun Hadiah bagi Pekerja
Setiap pekerja wajib menjaga kehormatan (iffah)
dan kemuliaan diri, kaya hati, serta jauh dari sifat memakan harta
manusia dengan cara batil. Hal ini contohnya seperti sogokan (risywah)
sekalipun namanya diganti, jika diambil dengan cara yang tidak benar
lagi batil maka menjadi sebab tidak terkabulnya do’a. Diriwayatkan dalam
shahih Muslim (1015) dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam bersabda, “Wahai manusia!! Sesungguhnya Allah
itu baik dan tidak menyukai selain kebaikan. Allahpun memerintahkan
semua muslim sebagaimana memerintahkan para Rasul dalam firmannya,
“Wahai Para Rasul sekalian, makanlah dari yang baik-baik dan beramal
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui semua yang kalian kerjakan”
Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rizki yang Kami berikan”. Kemudian
beliau menceritakan tentang seseorang yang dari perjalanan jauh dengan
rambut acak-acakan menengadahkan tangannya ke langit sembari berkata, “Ya Tuhanku! Ya Tuhanku!.
Padahal makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram,
pakaiannya dari yang haram, dan dia tumbuh dari yang haram. Maka
bagaimana mungkin dikabulkan?”
Dalil
paling jelas yang melarang kita untuk memakan harta manusia dengan cara
batil sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari dalam shahihnya (7152) dari
Jundub bin Abdullah berkata, “Sesungguhnya bau yang pertama
muncul dari seorang manusia berasal dari perutnya. Siapa yang mampu
untuk tidak memakan kecuali dari yang baik-baik maka lakukanlah. Siapa
yang mampu untuk tidak memalingkan antara dirinya dengan surga melalui
dua telapak tangan penuh berisi darah yang dia tumpahkan maka
lakukanlah”.
Diriwayatkan juga dari Bukhari (2083) dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Akan datang suatu zaman tatkala manusia tidak peduli dengan asal harta yang dia dapatkan apakah dari yang halal atau haram”.
Bagi
orang-orang ini, yang disebut halal itu jika bisa diraih, adapun Haram
adalah apa yang tidak bisa sampai ke tangan mereka. Adapun menurut
Islam, Halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dan RasulNya,
sedangkan Haram adalah apa yang diharamkan Allah dan RasulNya.
Diriwayatkan
dalam sunnah-sunnah Rasul tentang larangan bagi para pekerja dan
pegawai untuk menerima apapun sekalipun dinamai “hadiah”. Diriwayatkan
dari Abu Humaid As Sa’idi bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
pernah memperkerjakan seseorang dari Bani Asad bernama Ibnu Latbiah
untuk mengambil; sedekah. Maka tatkala kembali dari tugasnya dia
berkata, “Ini bagian untuk kalian sedangkan ini bagian yang kuhadiahkan untukku”.
Kemudian Rasulullah naik mimbar dan memuji Allah kemudian berkata, “Apa
hak pegawai yang aku utus untuk berkata “Ini bagian untuk kalian
sedangkan ini bagian yang kuhadiahkan untukku”. Kenapa dia tidak duduk
saja dirumah bapaknya atau ibunya sampai itu dihadiahkan ke dia atau
tidak? Demi Yang jiwa Muhammad di tanganNya! Tidaklah salah seorang
kalian mengambil sesuatu darinya kecuali akan datang hari kiamat nanti
sambil menggotong unta di lehernya sambil melenguh atau sapi sambil
melenguh atau kambing sambil mengembik. Kemudian dia mengangkat tangannya sampai terlihat ketiaknya lalu berkata, “Ya Allah, Bukankah telah aku sampaikan? Dua kali” (HR. Bukhari (7174), Muslim (1832) dan ini lafazh Muslim)
Dan dalam shahih Bukhari (3073) dan Muslim (1831) dari lafazh Muslim dari Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari Rasulullah berdiri diantara kami, kemudian beliau menyebutkan tentang bahaya dan keburukan ghulul (tipu daya), dia berkata, “Akan datang salah satu dari kalian pada hari kiamat dengan membawa onta yang melenguh di pundaknya.” Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah pertolongan untukku”. Rasulullah berkata, “Aku
tidak bisa menolongmu, bukankah telah aku sampaikan. Akan datang salah
satu dari kalian pada hari kiamat dengan membawa kuda yang meringkik di
pundaknya.” Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah pertolongan untukku”. Rasulullah berkata, “Aku
tidak bisa menolongmu, bukankah telah aku sampaikan. Akan datang salah
satu dari kalian pada hari kiamat dengan membawa kambing yang mengembik
di pundaknya.” Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah pertolongan untukku”. Rasulullah berkata, “Aku
tidak bisa menolongmu, bukankah telah aku sampaikan. Akan datang salah
satu dari kalian pada hari kiamat dengan membawa jiwa yang berteriak di
pundaknya.” Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah pertolongan untukku”. Rasulullah berkata, “Aku
tidak bisa menolongmu, bukankah telah aku sampaikan. Akan datang salah
satu dari kalian pada hari kiamat dengan membawa Riqa’ di pundaknya.” Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah pertolongan untukku”. Rasulullah berkata, “Aku
tidak bisa menolongmu, bukankah telah aku sampaikan. Akan datang salah
satu dari kalian pada hari kiamat dengan membawa ash-shamit di
pundaknya.” Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, mintakanlah pertolongan untukku”. Rasulullah berkata, “Aku tidak bisa menolongmu, bukankah telah aku sampaikan.”
Riqa dalam hadits ini artinya pakaian, sedangkan Ash Shamit adalah emas dan perak.
Dan
aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberi taufik bagi para
pekerja dan pegawai kaum muslimin untuk menunaikan tugasnya dengan cara
yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala dan meraih pahala dan hasil yang
baik di dunia dan akhirat.
Shalawat, salam, dan berkah untuk hambaNya dan RasulNya Nabi Muhammad, serta keluarga dan pengikutnya.
Dialihbahasakan oleh Zico Hasan pada 6 Okt. 2005 / 3 Ramadhan 1426, dari risalah karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al Abbad berjudul “Kaifa Yuaddi Al Muwazhzhaf Al Amanah”.
Posting Komentar