Berikut ini adalah penjelasan mengenai beberapa terminologi dalam
ilmu akidah, khususnya pada pembahasan akidah al asmaa` wa al shifaat,
ditulis oleh Ust. Nidhol Masyhud (Babanya Shofia) di Grup FB Forum
Diskusi Hadits, semoga bermanfaat.
1. TAKWIL
Ungkapan Takwil sudah digunakan oleh Quran dan Sunnah. Dalam Quran
dan Sunnah, pengertiannya berkisar pada “wujud/kenyataan”. Bila takwil
itu dikaitkan dengan sebuah berita, maka takwil sebuah berita adalah
wujud nyata dari apa yang diberitakan (termasuk takwil mimpi). Bila
takwil itu dikaitkan dengan perintah, maka takwil dari sebuah perintah
adalah perwujudan nyata berupa pelaksanaan perintah tersebut.
Nah, di era Salaf, istilah ini juga digunakan untuk menyebut “penjelasan
tentang kenyataan”, atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah
“Tafsir”. Mentakwil suatu nash berarti menafsirkan atau menjelaskan
kandungan dari sebuah berita atau perintah yang dikandung oleh nash
tersebut.
Di era belakangan, istilah Takwil digunakan pula untuk penafsiran
yang jauh dari teks asal. Inilah pengertian takwil yang kemudian populer
di Ushul Fiqih dan Ilmu Kalam, yaitu memalingkan suatu teks dari
kemungkinan artinya yang dekat kepada kemungkinan artinya yang jauh,
atau memalingkan suatu teks dari pengertian asalnya (lahiriah) kepada
pengertian lain yang tidak dapat dipahami hanya dari teks itu sendiri.
Nah, konsep Takwil memiliki banyak kerumitan, sebab konsep ini
terkait dengan dua hal yang cukup rumit dan telah menjadi ambigu, yaitu
“ihtimal” dan “zhahirun nash”. Ihtimal adalah bahwa sebuah makna itu
MUNGKIN dikandung oleh kata yang sedang dibahas, dan Zhahir berarti arti
yang muncul secara MENGEMUKA dari kata tersebut. Persoalannya adalah:
Zhahir dan Ihtimal di situ parameternya apa? Dan, apakah yang dimaksud
dengan Zhahir dan Ihtimal itu adalah Zhahir dan Ihtimal dari suatu kata
ketika dipisahkan dari konteks wicarnya, ataukah ketika ia telah berada
dalam konteksnya sebagaimana digunakan oleh nash yang tengah dibahas.
Pembahasan ini punya kaitan erat dengan kontroversi Teori Majaz
(walaupun tetap bisa dibahas tanpa harus membahas teori Majaz itu
sendiri).
2. ITSBAT
Dalam dunia kajian Asma’ wa Shifat Allah SWT, istilah “Itsbat Shifat”
berarti menetapkan suatu shifat sebagai shifat (atribut) Allah.
Meng-itsbat shifat qudrah (kemampuan), misalnya, berarti menyatakan
bahwa qudrah ini adalah suatu atribut yang dimiliki oleh Allah SWT, dan
bahwa ia merupakan atribut yang unik (punya identitas tersendiri)
sehingga bukan merupakan nama lain dari dzat (Allah SWT) dan bukan pula
merupakan nama lain dari atribut-atribut lainnya yang bukan merupakan
padanan/sinonimnya.
Nah, demikian pula halnya dengan atribut-atribut yang ramai
dipersoalan. mengitsbat atribut wajhun (wajah) dan yadun (tangan)
berarti menetapkan bahwa wajhun dan yadun ini merupakan atribut Allat
SWT (wajah Allah dan tangan Allah), sekalugus menetapkan bahwa wajhun
itu bukan yadun dan keduanya bukan merupakan nama lain dari dzat Allah,
bukan nama lan dari atribut-atribut lainnya (seperti qudrah, ilmu, dst),
serta tentu saja bukan merupakan nama lain dari makhluk-makhluk Allah
SWT (kontras, misalnya, dengan kalangan yang manafsirkan yadullah
sebagai ni’matullah yang berarti suatu makhluk).
Inilah konsep Itsbat yang pengertiannya jelas berbeda dengan Takwil
dan Tafwidh. Takwil dan tawfidh dibangun oleh keyakinan bahwa suatu
atribut itu bukan merupakan atribut Allah SAW, atau dibangun dari sebuah
keraguan apakah ia memang merupakan atribut Allah atau bukan, atau juga
dibangun dari keyakinan bahwa itu merupakan atribut Allah SWT tetapi
diyakini/dimungkinkan bahwa atribut itu adalah nama lain saja dari
atribut lainnya yang sudah diistbat.
Dalam sejarah, kalangan Itsbat ini berasal dari Ahlul Hadits dan
sebagain generasi senior Ahlul Kalam, yang sering pula dikenal dengan
sebutan “kalangan Ash-Shifaathiyyah”, meskipun pada rinciannya ada
beberapa perbedaan. Tokoh-tokohnya dari para senior Mutakallimin adalah
semisal Ibnu Kullab, Al-Qalanisi, Al-Muhasibi, Al-Asy’ari, dan
Al-Baqillani. Di lingkungan Asy’ariyyah, mayoritas asy’ariyyah
mengitsbat tujuh atribut (qudrah, iradah, ilmun, hayah, sama’, bashar,
kalam). Di samping atribut ini, kalangan mutaqaddimin Asy’ariyyah
semisal Abul Hasan, Al-Baqillani, dan Al-Baihaqi juga mengitsbat
beberapa atribut lainnnya, semisal wajhun (wajah) dan yadaan (dua
tangan). Adapun kalangan mutaakhkhirin, mereka rata-rata menafikan atau
meragukan atribut-atribut ini (khususnya Ar-Razi dan Al-Amidi).
Kemudian, ada pula As-Sanusi yang membakukan penambahan itsbat 7 atribut
lanjutan, yaitu kaunuhu qadiran, muridan, hayyan, sami’an, bashiran,
dan mutakalliman. Inilah makanya konsep yang kemudian dikenal di banyak
lingkungan Asy’ariyyah zaman ini adalah konsep shifat 20, meskipun dasar
konsep itu ditentang oleh jumhur mutakallim asy’ariyyah.
3. TAFWIDH
Istilah ini saya kenal pertama digunakan oleh Al-Juwaini dalam
Nizhamiyyah, ketika beliau membantah keras sikap Takwil dan menganjurkan
Tafwidh yang dinisbahkan sebagai madzhab Salaf. Tetapi di situ tidak
dirincikan apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh Al-Juwaini dengan
Tafwidh ini. Sebelum Al-Juwaini, sudah ada Al-Barbahari yang menggunakan
istilah ini dalam Syarhus Sunnah, tetapi juga tidak dengan penjelasan
yang memadai untuk mengetahui apa rinciannya yang dimaksudkan dengan
Tafwidh ini (apalagi beliau sandingkan dengan ungkapan tashdiq, taslim,
dan ridha).
Nah, kemudian Al-Ghazali dalam Iljamnya (ketika membantah keras sikap
Takwil) mencetuskan konsep ‘tafwidh’ secara detail dan jelas definisi
operasionalnya, sekaligus menisbahkannya kepada Salaf. Beliau mungkin
tidak menggunakan istilah Tafwidh, melainkan Sukut, Imsak, Kaff, dan
Taslim. Akan tetapi, yang nantinya dimaksudkan oleh banyak ulama sebagai
tafwidh ya sikap yang seperti dimaksudkan oleh Al-Ghazali ini. Di
sinilah, konsep ‘Tafwidh’ itu memiliki definisi yang jelas dengan konsep
Itsbat Shifat. Tafwidh terhadap ayat/hadits ttg shifat Allah SWT
berarti sikap untuk diam, tidak membicarakannya, tidak mentakwilkannya,
tidak menafsirkannya, tidak menerjemahkannya, tidak mengaitkannya dengan
nash-nash yang sejenis, serta bahkan tidak menggunakan derivasinya. Dan
menurut Al-Ghazali, sikap ini wajib ditempuh oleh orang awam serta juga
oleh orang alim dalam berbicara kepada orang awam, bahkan perlu juga
ditempuh dalam pembicaraan sesama orang alim. Contoh tokoh asy’ariyah
yang membantah sikap tafwidh seperti ini adalah Ibnu Furak.
Pada era Ar-Razi, konsep dan istilah Tafwidh menemukan pembakuannya,
yaitu berpijak pada sikap Tawaqquf. Lebih dari itu, Ar-Razi berupaya
untuk mengharmoniskan sikap Tafwidh ini dengan sikap Takwil (berbeda
dengan para pendahulunya). Kalau tidak salah, pilihan yang ditempuh oleh
Al-Amidi pun demikian adanya. Dalam kerangka inilah tokoh semisal Ibnu
Taimiyyah itu membantah Tafwidh dan Takwil, yaitu Tafwidh yang dilandasi
oleh sikap tawaqquf dan Takwil yang dilandasi oleh sikap nafy, di
samping beliau juga membantah sikap Tasybih dan Takyif, yaitu tasybih
yang dilandasi sikap mengkiaskan khasaish dan takyif yang dilandasi
perincian tanpa dalil.
4. TAJSIM
Tajsim berarti “men-jism-kan”, yaitu menyebut atau menganggap sebagai
jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim
berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa
itu “jism”? Ini titik rumitnya.
Ungkapan “jism” pada asalnya dalam bahasa Arab berarti jasad. Jism
manusia adalah jasadnya (yang berbeda dengan ruhnya). Dari ungkapan ini,
kemudian juga diturunkan ungkapan sifat yang berarti “besar”. Akan
tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi
sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah
ini.
Ada yang menggunakan istilah “jism” dalam pengertian “sy-syai'”
(sesuatu), dalam pengertian “al-maujud” (entitas), dalam pengertian
“al-qaaim bin-nafs” (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian
“al-musyaar ilaih” (sesuatu yang bisa ditunjuk).
Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian
“ath-thawil al-`aridh al-`amiq” (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam
pengertian “al-muhtamil lil-a`raadh” (entitas yang punya aksiden,
seperti bisa diam dan bisa bergerak), “ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr
wa-bathn wa-a’la wa-asfal” (entitas bersisi enam).
Dan, adapula yang menggunakan istilah “jism” ini adalah pengertian
“al-muallaf minal ajzaa'” (sesuatu yang disusun/tersusun dari
bagian-bagian), dalam pengertian “al-jauhar ma’a a`raadhih” (substansi
beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian “majmuu`atul a`raadh
al-muallafah al-mujamma’ah” (sekumpulan aksiden yang disusun dan
dirangkai).
Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para
ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang
disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya “al-maujuud”), ada yang
disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya “majmuu`atul
a`raadh”), ada yang dipertentangkan (misalnya “al-musyaal ilaih”), dan
ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan
definisi lebih lanjut.
Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang
tidak segan menyebut Allah SWT sebagai “jism”, ada yang tidak segan
menyebut Allah SWT sebagai “bukan jism”, dan ada pula yang segan untuk
menyebut Allah SWT sebagai “jism” maupun “bukan jism”. Perdebatan
seputar tajsim pun hanya akan menjadi tuntas jika dibahas dari kedua
sisi, yaitu sisi penggunaan istilah, dan sisi maknawi yang dimaksud
dengan istilah ini. Sisi kedua inilah yang lebih efektif untuk
diperdebatkan.
Posting Komentar