Bantu Menghafal Al Qur'an

Headlines News :
Home » , » Fiqh Hukum Menceraikan Istri Ketika Hamil

Fiqh Hukum Menceraikan Istri Ketika Hamil

Written By Unknown on Kamis, 09 Januari 2014 | 15.38

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:
Menceraikan Isteri menurut tuntunan sunah adalah pada dua keadaan:


1. Suci (tidak sedang haid), dan belum dicampuri sejak kesuciannya. Hal ini berdasarkan ayat:
 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu”  (QS. Ath Thalaaq: 1)
Pada Bab Ath Thalaq, dalam Shahih Bukhari, Imam Bukhari menulis:
وَطَلَاقُ السُّنَّةِ أَنْ يُطَلِّقَهَا طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ وَيُشْهِدَ شَاهِدَيْنِ
“Dan Thalaq yang sunah yaitu menthalaq isteri ketika suci, sebelum dicampuri, dan disaksikan dua saksi.”
Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari menulis:
 رَوَى الطَّبَرِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيح عَنْ اِبْن مَسْعُود فِي قَوْله تَعَالَى ( فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ) قَالَ : فِي الطُّهْر مِنْ غَيْر جِمَاع ، وَأَخْرَجَهُ عَنْ جَمْع مِنْ الصَّحَابَة وَمَنْ بَعْدهمْ كَذَلِكَ
Imam Ath Thabari meriwayatkan dengan sanad shahih, dari Ibnu Mas’ud, tentang firman Allah Ta’ala: (Maka ceraikanlah mereka pada waktu iddah mereka yang wajar): bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Ceraikan pada waktu suci dan tidak dicampuri.” Dan diriwayatkan pula dari sejumlah sahabat, dan orang sesudah mereka juga demikian.”   (Fathul Bari, 9/346. Darul Ma’rifah, Beirut)
Dasar lainnya adalah hadits Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, ketika dia menceraikan isterinya ketika haid, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk merujuknya, kalau ingin menceraikan pun, hendaknya ketika suci dan belum dicampuri.  Beliau bersabda kepada Ibnu Umar:
فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا
“Maka ceraikanlah dia pada waktu suci sebelum dia dicampuri.”   (HR. Bukhari No. 4908, Muslim No. 1471)
Bagaimana jika dia menceraikan ketika suci tetapi setelah dicampuri? Jumhur ulama mengatakan tetap SAH tetapi haram.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut:
يَعْنِي قَبْل أَنْ يَمَسّ أَيْ قَبْل أَنْ يَطَأهَا ، فَفِيهِ تَحْرِيم الطَّلَاق فِي طُهْر جَامَعَهَا فِيهِ
Yakni sebelum disentuhnya yaitu sebelum dicampurinya, di dalam hadits ini ada dalil pengharaman mentalak ketika suci setelah dicampuri.  (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/61)
Namun Imam Asy Syafi’i tidak mengharamkannya, dia hanya memakruhkan, Imam An Nawawi menguatkan pendapat ini. Sebab, bagi madzhab ini talak yang haram hanyalah talak ketika haid.  Apa alasan mereka sekedar memakruhkan? Yaitu sesuai keumuman hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Perbuatan halal yang paling Allah benci adalah thalaq (cerai).”   (HR. Abu Daud No. 2178, Ibnu Majah No. 2018, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 14671)[1]
Menurut hadits ini, cerai adalah halal, walau dibenci Allah Ta’ala, oleh karenanya bagaimana pun bentuk perceraian  maka itu adalah makruh.
Jadi, berdasarkan beberapa dalil di atas, kesimpulannya adalah sunah menceraikan isteri ketika suci dan belum dicampuri. Sedangkan, jika menceraikan ketika suci namun dicampuri dahulu, maka jumhur ulama tetap mengatakan sah, namun haram, sedangkan Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan hanya makruh. Sedangkan cerai yang haram dan bid’ah adalah ketika haid, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam kita, seperti Imam Ibnu taimiyah, Imam Ibnu Hajar, dan lain-lain.
2. Talak ketika isteri sedang hamil
Jumhur ulama mengatakan bahwa menceraikan isteri pada saat hamil adalah boleh, bahkan Imam Ahmad menyebutnya cerai menurut sunnah. Hal ini berdasarkan hadits shahih berikut:
ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
“Kemudian, ceraikanlah dia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim No. 1471)  
Imam An Nawawi memberikan komentar:
فِيهِ دَلَالَة لِجَوَازِ طَلَاق الْحَامِل الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلهَا وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر وَبِهِ قَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء مِنْهُمْ طَاوُس وَالْحَسَن وَابْن سِيرِينَ وَرَبِيعَة وَحَمَّاد بْن أَبِي سُلَيْمَان وَمَالِك وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَأَبُو عُبَيْد ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر : وَبِهِ أَقُول . وَبِهِ قَالَ بَعْض الْمَالِكِيَّة
Di dalamnya terdapat dalil bagi bolehnya mencerai wanita yang jelas kehamilannya, itulah madzhab Asy Syafi’i. berkata Ibnul Mundzir: “Dengan ini pula pendapat mayoritas ulama, di antara mereka adalah Thawus, Al Hasan, Ibnu Sirin, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid.” Berkata Ibnu Mundzir: “Aku juga berpendapat demikian.” Dan dengan ini juga pendapat sebagian Malikiyah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/65)
Namun, sebagian Malikiyah lainnya mengharamkannya, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa Al Hasan (Al Bashri) memakruhkan. Demikian keterangan lanjutan dari Imam An Nawawi, dalam kitabnya tersebut.  Namun pendapat yang membolehkan adalah lebih sesuai dengan nash syariat. Selesai. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan


[1] Sebenarnya para ulama berselisih tentang status validitas hadis ini, ada yang mengatakan dhaif karena semua sanad hadits ini mursal.    (Fathul Bari, 9/356, Al Maqashid Al Hasanah, 1/48, Al Muharrar fil hadits No. 1053, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam No. 2594), kemursalannya terletak pada Muharib bin Ditsar.  Alasan lainnya, ada masalah pula pada perawinya, yakni khususnya pada sanad Ibnu Majah terdapat ‘Ubaidillah bin Al Walid Al Washafi, dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Dzakhiratul Huffazh No. 799). Oleh karena itu tidak sedikit ulama yang mendhaifkan hadits ini seperti Imam Ibnul Qayyim, Syaikh Al Albani,   dan lainnya.
Namun Imam lainnya menganggap hadits ini shahih maushul (bersambung, tidak terputus) seperti Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya, dan Imam Ibnu Taimiyah pun menggunakan hadits ini sebagai hujjah dalam beberapa tulisannya, begitu pula Syaikh Al Qaradhawi mengikuti pendapat imam yang menshahihkannya. Wallahu A’lam
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Kajian Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger