Sebagian wanita mengajukan syarat-syarat
ketika seorang laki-laki hendak menikahinya. Adakalanya syarat itu
muncul karena kehendaknya sendiri. Tetapi, adakalanya syarat itu
merupakan kehendak orangtua atau keluarga yang dibebankan kepada anak
gadisnya jika ingin melangsungkan pernikahan.
Pokok persoalan sehubungan dengan
syarat-syarat nikah tidak terletak kepada siapa yang pertama
mempersyaratkan, istri sendiri atau keluarganya. Tetapi berkaitan dengan
kedudukan syarat itu menurut syari’at.
Kita ikuti penjelasan Abu Bakr Jabir Al-Jazairi tentang masalah ini.
Jika persyaratan yang ditetapkannya itu menegakkan dan memperkuat akad
nikah, kata Al-Jazairi, seperti syarat nafkah, menggauli, atau pembagian
yang adil apabila peminangnya sudah beristri, maka syarat-syarat
tersebut berkaitan langsung dengan asal (pokok) akad, sehingga tidak
perlu ditetapkan lagi.
Jika syaratnya itu merusak akad nikah, seperti disyaratkan tidak boleh bersenangsenang dengannya (termasuk bersebadan, pen.),
atau tidak usah menyediakan makanan dan minuman yang biasa disiapkan
oleh wanita, maka syarat tersebut tidak benar dan tidak wajib
memenuhinya. Hal ini dikarenakan syarat-syarat tersebut bertentangan
dengan tujuan menikahinya, demikian kata Al-Jazairi dalam Pedoman Hidup
Muslim (Litera AntarNusa, 1996).
Masih dalam buku yang sama, Al-Jazairi
menjelaskan bahwa jika syarat-syarat tersebut keluar dari masalah
tersebut seluruhnya, seperti si wanita mensyaratkan calon untuk
mengunjungi keluarganya, atau jangan membawanya ke luar negeri
misalnya, maka selama bukan syarat yang bersifat menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal, maka persyaratan itu wajib dipenuhi.
Jika tidak, wanita bisa mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan, jika
memang mau.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Seutama-utama syarat yang harus dipenuhi, adalah persyaratan
dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersenggama dengan istri).” (HR
Bukhari & Muslim).
Masalah lain berkenaan dengan syarat nikah adalah menyangkut sah
tidaknya akad nikah. Adakalanya nikah sah tetapi syaratnya batal,
misalnya mensyaratkan tidak usah memberi maskawin atau nafkah. Sekalipun
nikahnya sah, tetapi kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah
tetap tidak terhapus.
Ada
hadis yang dapat kita simak. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Hanya satu syarat saja yang tidak ada pada Al-Qur-’an adalah
salah, apalagi jika ada 100 syarat.” (HR Bukhari).
Pembicaraan lebih lanjut tentang masalah
ini silakan diperiksa di berbagai sumber. Anda juga bisa bertanya
kepada pihak-pihak yang berhak, sehingga Anda mendapat kejelasan tentang
berbagai pendapat yang berbeda-beda dalam perkara ini. Bukan bagian
saya untuk membahasnya di sini. Saya belum memiliki hak untuk itu.
Sekali lagi, jika Anda hendak mengajukan
syarat-syarat nikah kepada calon suami Anda, periksa dulu berbagai
sumber yang membahas masalah ini agar Anda mendapat pemahaman hukum yang
matang. Bertanyalah kepada orang-orang yang faqih dan adil, agar Anda
mendapatkan penjelasan yang mendalam dan rinci, sehingga terang apa-apa
yang kabur. Sampai Anda mendapatkan keyakinan setelah Anda berada dalam
keraguan. Dan itu, sekali lagi, bukan bagian saya untuk membahas. Saya
takut tergelincir dalam masalah ini mengingat masih sangat sedikitnya
bekal.
Bagian saya sekarang insya-Allah
membahas maslahat dan madharat di balik pengajuan syarat-syarat kepada
calon suami yang akan menikahi.
Mempersyaratkan Tinggal Di Rumah Istri
Atsram menceritakan, seorang laki-laki
menikahi seorang wanita dan ia mensyaratkan tetap tinggal di rumahnya.
Kemudian laki-laki itu bermaksud akan membawa istrinya pindah, sedang
istri-istrinya tidak mau yang kemudian mengadukan masalahnya kepada
Khalifah Umar.
Umar berkata bahwa wanita itu mempunyai
hak agar dipenuhi syaratnya. Maka laki-laki itu berkata, “Kalau begitu
engkau menceraikan kami.” Maka Umar berkata, “Putusnya hak tergantung
pada syarat.”
Ada dua pendapat dalam maslah ini. Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syarat
seperti ini hukumnya batal, tetapi akad nikahnya sah. Imam Ahmad, Auza’y
dan Abu Ishaq memandang syarat ini sah dan wajib dipenuhi.
Jika kita mengikuti pendapat yang
terakhir, maka ikatan pernikahan itu telah berakhir dengan perceraian
ketika suami terpaksa harus pindah tempat tinggal. Kata Umar bin
Khaththab, “Putusnya hak tergantung pada syaratnya.”
Jika kita mengikuti pendapat pertama,
masalahnya tidak selesai dengan sederhana. Kalau suami mengabaikan
persyaratan istri atau keluarga istri, akan muncul masalah-masalah
psikis yang bisa menjadi bibit madharat dan mafsadat (kerusakan).
Misalnya, istri merasa dilecehkan dan tidak diperhatikan haknya. Istri
bisa mengalami kekecewaan dan mengarahkan kepada perbuatan nusyuz
(pembangkangan, mendurhakai suami).
Jadi, ada masalah yang tidak sederhana
di sini. Ketika seorang suami bermaksud melakukan kebaktian kepada
orangtua, terutama ibu, selama beberapa minggu misalnya, masalah bisa
timbul. Baik masalah pada suami, maupun pada istri. Padahal, orang yang
harus ditaati oleh seorang laki-laki yang pertama adalah orangtua,
terutama ibu. Sedang bagi wanita yang pertama kali harus ditaati sesudah
menikah adalah suaminya, sejauh tidak bertentangan dengan hukum.
Ini baru satu contoh masalah. Sepanjang
hidup, manusia selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan. Kadang pilihan
hidup menghadapkan orang kepada kemungkinan pindah dari tempat
tinggalnya untuk mencapai kemaslahatan dan barakah. Demikian juga ketika
ia telah menjalin ikatan pernikahan, keluarga itu bisa berhadapan
dengan kemungkinan pindah domisili karena ada sesuatu yang bisa
mendatangkan kemaslahatan, sakinah dan barakah bagi keduanya. Atau,
kepindahan itu mempunyai makna syi’ar, ketaatan, dan bahkan kecintaan
terhadap agama. Wallahu A’lam bishawab. Wallahul musta’an.
Saya teringat nasehat Yahya Ibn Mu’adz
kepada saudaranya. Ketika saudaranya mengemukakan ingin tinggal di
tempat yang paling baik di muka bumi, Yahya menjawab, “Menyinggung
perkataanmu tentang keinginanmu tinggal tinggal di tempat yang paling
baik di muka bumi ini, jadikanlah dirimu sebagai orang yang terbaik di
antara manusia, kemudian menetaplah di manapun engkau suka. Sebuah
tempat menjadi terhormat karena penduduknya, bukan karena yang lain.”
Di balik apa-apa yang tidak kita sukai,
kadang Allah memberikan kebaikan yang sangat besar. Kadang kita
mengharap hujan, tetapi mengeluh ketika ada mendung yang tebal.
Sementara di balik apa-apa yang kita sukai, bisa jadi terdapat banyak
kerugian yang tidak kita lihat saat ini.
Mensyaratkan Tidak Berhubungan Intim
“Seutama-utama syarat yang harus
dipenuhi,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “adalah
persyaratan dalam rangka menghalalkan kemaluan (bersenggama dengan
istri).” (HR Bukhari & Muslim).
Dalam hadis ini istilah yang dipakai adalah mastahlaltum bihi furuj.
Kata kunci dalam soal kita sekarang adalah furuj, farji (alat
kemaluan). Bukan nikah atau zawaj (kawin). Ini menunjukkan kepada
kejelasan dan kekuatan kedudukan hubungan kelamin sebagai sesuatu yang
menyebabkan munculnya persyaratan. Sementara, tidak mungkin melakukan
hubungan kelamin secara halal tanpa melakukan akad pernikahan. Karena
itu, memang tidak salah jika diartikan persyaratan dalam rangka menikah,
tetapi titik tekannya ada pada masalah persyaratan untuk terjadinya
hubungan kelamin. Begitu.
Dalam fiqih dikenal adagium, perintah
untuk melakukan sesuatu berarti perintah untuk melakukan perbuatan yang
menjadi sarana terjadinya sesuatu. Kalau Anda diperintahkan shalat,
berarti Anda juga diperintahkan berwudhu. Sebab tidak sah shalat Anda
jika Anda tidak memiliki wudhu (jika Anda berhadas). Meskipun begitu,
perintah berwudhu tidak menunjukkan perintah untuk shalat.
Nah, jika Anda mempersyaratkan suami
untuk tidak melakukan hubungan intimkelak sesudah menikah sampai Anda
lulus kuliah, apakah yang demikian ini tidak bertentangan dengan akad
dan tujuan menikah? Padahal, salah satu tujuan menikah adalah untuk
memelihara kehormatan kemaluan agar tidak terjerumus ke dalam
kemaksiatan karena menyalurkan tidak pada yang halal.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu kawin,
maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu lebih mampu menahan
pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan.” (HR Bukhari & Muslim).
Syarat pernikahan yang seperti ini,
sepanjang yang saya ketahui, tidak perlu ditaati. Tetapi persoalan yang
ingin saya bahas di sini bukan boleh-tidaknya melanggar persyaratan yang
merusak makna dan tujuan akad nikah. Saya ingin mengajak Anda untuk
melihat pintu-pintu madharat dan mafsadat (kerusakan) yang bisa terjadi
akibat adanya persyaratan semacam ini.
Jika Anda mempersyaratakan kepada suami
Anda karena Anda tidak ingin mengandung selama Anda masih kuliah atas
berbagai pertimbangan, baik pertimbangan sendiri maupun pertimbangan
bersama dengan suami yang sama-sama masih kuliah, maka ada yang perlu
diperhatikan. Ketika Anda sudah terikat oleh pernikahan yang sah, maka
halallah apa-apa yang sebelumnya haram dan dosa besar.
Anda berhak mendapat
kesenangan-kesenangan khusus bagi suami-istri. Pada saat-saat tertentu,
gejolak itu rendah. Tetapi pada saat-saat lain, gejolak bisa meninggi
bahkan tak terkendali.
Kalau hari sedang hujan, es tidak
menarik. Tapi kalau matahari sedang terikteriknya, keinginan yang
mendesak untuk mereguk kenikmatan tak bisa ditahan lagi.
Nah, ibarat kebutuhan terhadap es, segalanya bisa terjadi saat Anda berdua saling memendam kerinduan.
Sebenarnya, Anda halal melakukan
hubungan intim karena Anda telah mengikat pernikahan yang sah.
Masalahnya adalah, kalau sesudah “kecelakaan yang halal” ituterjadi
ternyata Anda harus hamil dari benih suami Anda sendiri. Apalagi kalau
sebelumnya Anda sempat memakai alat-alat kontrasepsi dan tidak terjadi
apa-apa, maka kehamilan yang terjadi dapat mengakibatkan Anda melakukan
penolakanterhadap anak yang Anda kandung. Padahal ia adalah anak Anda
sendiri, anak yang sah dari suami yang sah melalui hubungan intim yang
sah dan halal. Sepenuhnya sah.
Rentetan akibatnya akan sangat panjang.
Akibatnya terhadap Anda maupun akibat terhadap suami karena sebelumnya
tidak memiliki orientasi untuk memiliki anak semasa kuliah. Rentetan
akibatnya juga merugikan anak secara langsung untukmasa yang sangat
panjang, karena penolakan Anda menyebabkan ketidakmampuan Anda untuk
menerima keberadaannya dan memberikan kasih sayang kepadanya.
Padahal kasih-sayang dan penerimaan
merupakan hal yang sangat penting dalam mendidik anak. Selain itu,
penolakan terhadap anak dapat melahirkan sejumlah konflik-konflik psikis
yang berat.
Kalau misalnya Anda tidak sampai
mengalami kecelakaan karena Anda berdua mematuhi persyaratan itu, masih
ada yang harus Anda perhatikan. Bagaimana pengaruh problem-problem
psikis yang terakumulasi selama menunggu perkuliahan selesai, padahal ia
telah memiliki istri yang sah? Bagaimana kesiapan kalian untuk menjadi
suami istri yang baik dan saling menerima, apabila sebelumnya Anda
terhalang untuk menjalin kebersamaan? Apalagi kalau masing-masing masih
tinggal di kost yang berbeda.
Akhirnya juga berkait dengan kesiapan
untuk menjadi orangtua. Kurangnya orientasi sejak awal dapat menyebabkan
Anda mengalami kejutan mental (shock) setelah berkumpul bersama.
Setelah kalian menjalin kebersamaan selama beberapa waktu sebagai
suami-istri dengan menjauhkan jima’, sekarang tiba-tiba Anda menghadapi
bahwa seorang anak sebentar lagi akan lahir setelah beberapa bulan
sebelumnya Anda dikumpuli.
Jadi, soal orientasi dan kesiapan
menjadi orangtua ini yang potensial menimbulkan madharat dan mafsadat
jika Anda mempersyaratkan suami untuk tidak melakukan hubungan intim,
meskipun syarat ini tidak berhak untuk ditaati. Saya kira lebih baik
kita meniatkan semenjak awal untuk melahirkan anak-anak yang memberi
bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah sekalipun masih
kuliah. Insya- Allah yang demikian ini merupakan mujahadah. Kelak, kita
akan merasakan keindahannya di dunia dan akhirat. Insya-Allah. Allahumma
amin.
Mempertimbangkan Kembali Syarat Nikah
Jacqueline McCord Leo pernah menulis sebuah buku berjudul New Womens Guide to Getting Married
(Bantam Books, 1982). Buku ini menceritakan tentang berbagai seluk
beluk proses pernikahan. Sejak dari pemesanan undangan, jumlah pakaian
yang harus dipesan, warna apa saja yang perlu dipilih, kuenya bagaimana,
bunga apa saja yang harus disediakan kalau menikah untuk pertama kali.
Juga, pesta yang bagaimana kalau untuk perkawinan yang kedua atau yang
berikutnya. Termasuk di dalamnya, bagaimana jika Anda tidak menikah
tetapi mendambakan prosesi pernikahan, karena hidup ini sedemikian sepi
tanpa prosesi pernikahan (he he he, heran juga mereka).
Tetapi di antara isi buku itu, yang
paling menarik untuk pembahasan kita kali ini adalah mengenai syarat
nikah. Dalam sebuah perkawinan Amerika, ada surat perjanjian yang
disebut sebagai Marriage Contracts. Isinya perjanjian mengenai beberapa
masalah yang dianggap penting untuk ditaati, yang mencakup karier dan
tempat tinggal sampai perlakuan pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Surat perjanjian ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian tuntutan
istri yang harus ditaati oleh suami dan tuntutan (syarat nikah) suami
yang harus ditaati oleh istri. Misal, setiap Selasa selepas makan malam
suami mengecup kening istri dan mengatakan I love you.
Surat perjanjian ini dibuat untuk satu
rentang waktu tertentu, misal 5 tahun. Sesudah jatuh tempo, mereka
membuat surat perjanjian baru untuk disepakati selama rentang waktu
lain. Tergantung kesepakatan bersama.
Melalui surat perjanjian semacam ini,
hak-hak kedua pihak lebih terjamin dan mempunyai kedudukan hukum formal
yang kuat. Istri berhak melakukan complaint jika suami tidak mencium
keningnya sambil mengatakan I love you sehabis makan malam hari Selasa.
Tetapi, dapatkah Anda membayangkan
perasaan apa yang muncul ketika suami mengecup keningnya? Kira-kira mana
yang lebih menyentuh hati, kecupan karena terikat syarat nikah ataukah
usapan lembut karena perasaan sayang?
Melalui surat perjanjian ada kesepakatan
yang diakui secara hukum. Tetapi ada harga yang harus dibayar. Mereka
menjadi lebih peka terhadap perilaku-perilaku yang mengarah kepada tidak
dipatuhinya perjanjian daripada sentuhan kasih-sayang dalam
peristiwa-peristiwa kecil setiap hari. Ini justru mendekatkan kepada
ketidakbahagiaan dan konflik daripada kemesraan dan saling menerima.
Sekarang ketika Anda ingin mengajukan
syarat-syarat pernikahan,pertimbangkanlah kembali. Apakah syarat-syarat
nikah yang Anda ajukan tidakmembuka pintu madharat dan mafsadat
(kerusakan)? Ataukah syarat pernikahan Anda justru akan mendekatkan
kepada maslahat dan kemuliaan dunia akhirat?
Pertimbangkanlah secara jernih. Mintalah
fatwa kepada hatimu. Bertanyalah kepada nuranimu yang jernih.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mintalah fatwa dari
hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan
tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam
jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa
kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR Ahmad).
Perkara syarat nikah adalah haq. Wanita berhak mengajukan syarat nikah. Wallahu A’lam bishawab.
Kelak Ada Dialog
Jika masih terbuka kemungkinan untuk
didialogkan bersama setelah menikah, ada baiknya Anda menahan diri untuk
tidak mempersyaratkan kepada suami. Kelak ada saat yang lebih leluasa
untuk berbicara dari hati ke hati, sehingga ia dapat memahami dengan
lebih baik ketika memikirkan dan mengambil keputusan atas masalah yang
sebelumnya ingin Anda persyaratkan. Sementara Anda bisa mengambil jarak
dari masalah. Bisa jadi, Anda justru berubah setelah membicarakannya
dari hati ke hati.
Insya-Allah yang demikian ini akan lebih
dekat kepada kemaslahatan. Masalah yang Anda hadapi, bisa jadi justru
menumbuhkan mawaddah (rasa cinta) dan keharmonisan (ulfah) di antara
Anda dan suami ketika dibicarakan bersama-sama. Melalui dialog yang
terbuka dan saling percaya, bisa jadi tercapai apa yang semula ingin
Anda persyaratkan. Bisa jadi tidak. Tetapi di dalamnya Anda mendapat
pemahaman bahwa di balik apa-apa yang tampak tidak baik, bisa jadi di
dalamnya ada kebaikan yang berlimpah. Sebaliknya, bisa jadi Anda
menganggapnya baik padahal banyak madharat di dalamnya.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon
kebaikan yang sempurna di dunia dan akhirat bagi kita dan keluarga kita,
termasuk orangtua kita. Langkah untuk menikah sebagian-nya merupakan
langkah untuk mencapai keselamatan atas diri kita dan orangtua kita,
termasuk mertua kita. Kalau dari pernikahan itu akhlak dan agama kita
menjadi baik sehingga derajat amal kita jauh lebih tinggi dari derajat
amal orangtua kita misalnya, insya-Allah mereka akan disusulkan kepada
kita meskipun derajat amalnya tidak mencukupi sejauh mereka tetap
beriman. Yang demikian ini termasuk di antara barakah pernikahan. (Ya
Allah, barakahilah kami, ya Allah, dan jadikanlah pernikahan kami penuh
barakah).
Mereka yang pernikahannya barakah,
insya-Allah kelak termasuk orang-orang yang di Hari Akhirat dikumpulkan
Allah bersama orangtua dan keturunan mereka.
Apakah kita tidak ingin dimasukkan ke
dalam golongan yang disebutkan Allah dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat
70, “Masuklah ke surga beserta istrimu untuk digembirakan.” Selanjutnya
dalam surat Ar-Ra’d [13] ayat 23, Allah menjanjikan, “Surga ‘Adn, mereka
masuk ke dalamnya bersama mereka yang saleh di antara orangtua mereka,
istri-istri mereka, dan keturunan mereka.”
Abdullah bin ‘Abbas, dalam hadis yang
dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih, meriwayatkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ketika seseorang masuk ke
surga, ia menanyakan orangtua, istri, dan anak-anaknya. Lalu dikatakan
padanya, ‘Mereka tidak mencapai derajat amalmu.’ Ia berkata, ‘Ya
Tuhanku, aku beramal bagiku dan bagi mereka.’ lalu Allah memerintahkan
untuk menyusulkan keluarganya ke surga itu.”
Setelah itu Ibn ‘Abbas membaca surat
Ath-Thuur [52] ayat 21, Dan orang-orang yang beriman, lalu anak-cucu
mereka mengikuti dengan iman, Kami susulkan keturunan mereka pada
mereka, dan Kami tidak mengurangi amal mereka sedikit pun.
Di hari ketika anak dan orangtua
bercerai-berai, antar sanak-kerabat dan teman akrab menjadi musuh,
mudah-mudahan kita termasuk golongan yang dikecualikan sekalipun saat
ini bekal kita masih jauh dari mencukupi. Mari kita perhatikan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Az-Zukhruf [43] ayat 67,
Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh sebagian yang
lain kecuali orang-orang yang bertakwa.
Saya jadi teringat kepada sebuah hadis.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Harta yang utama
adalah lisan yang senantiasa dzikir, hati yang senantiasa bersyukur, dan
istri beriman yang membantu suami dalam menegakkan bangunan imannya.”
(HR Ibnu Majah & Tirmidzi, hasan).
—
Jadi, keputusan untuk menikah sampai
kepada pernik-pernik pernikahan banyak mempengaruhi barakah tidaknya
pernikahan. Wallahu A’lam bishawab.
Mudah-mudahan Allah mengampuni segala
kesalahan kita dalam melangkah. Sejak dari niat ketika akan berangkat
sampai tindakan-tindakan sesudah akad pernikahan hingga walimahnya.
Astaghfirullahal ‘adzim. Laa ilaaha illaa Anta, subhanaKa innii kuntu
minadz dzalimin.
Sumber :Mengajukan Syarat Menikah
Posting Komentar