Tidak ada satupun pendapat ulama ahli fiqh salaf maupun khalaf yang berpendapat bahwa harus izin kepada guru atau pembina
bila akan berjihad atau ibadat lainnya baik fardhu kifayah maupun
fardhu ‘ain. Barangsiapa yang berpendapat yang selain ini maka hendaklah
dia mendatangkan dalil syar’i atau keterangan yang nyata. Oleh sebab
itu setiap Muslim mempunyai hak berangkat berjihad tanpa izin gurunya
atau pendidiknya. Karena izin dari Rabbil Alamin lebih diutamakan dan
Dia Subhanahu wa Ta’ala telah mengizinkan bahkan telah mewajibkan jihad.
Ibnu Hubairah menyatakan:
“Sesungguhnya termasuk tipu daya syaitan
ialah didirikannya berhala ma’nawi yang disembah selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Misalnya ada orang yang telah menerima keterangan yang telah
dipahaminya tentang suatu kebenaran, tetapi karena taqlid dia menyatakan: Ini
bukan madzhab kami. Karena dia menganggap lebih agung pendapat yang dia
pegangi dan merasa yakin bahwa pendapatnyalah yang paling benar.”[1]
Kalau seandainya ada seorang murid yang ingin belajar teknik dan kedokteran atau sejarah di negara-negara Barat dan Amerika.
Padahal di sana fitnah iman amat dahsyat bagaikan lautan besar yang
berombak penuh dengan godaan-godaan yang melupakan iman dan lautan
kenikmatan syahwat dan nyalanya api maksiyat. Aku ingin menyatakan
terhadap kasus yang seperti ini: Bila anak tersebut berangkat ke Eropa
atau Amerika tanpa izin gurunya atau yang lainnya, niscaya tidak ada
yang menyalahkannya termasuk Syaikhnya.
Tetapi bila murid tersebut berangkat untuk ikut dalam persiapan kekuatan militer kaum
muslimin atau berangkat untuk jihad tanpa izin gurunya, niscaya Anda
akan mendapati percakapan-percakapan yang mencacinya dari berbagai arah.
bagaimana dia pergi tanpa izin?. Padahal Syaikhnya yang menyatakan
demikian itu telah pernah mendengar atau membaca hadits NabiShallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
حرس ليلة في سبيل الله تعالى أفضل من ألف ليلة يقام ليلها ويصام نهارها
“Berjaga-jaga di malam hari di jalan
Allah, lebih utama daripada seribu bulan yang setiap malamnya didirikan
shalat dan pada siang harinya dilakukan puasa.”[2]
Dalam Shahih Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
رباط يوم وليلة خير من صيام شهر وقيامه، وإن مات جرى عليه عمله الذي كان يعمل وأجري عليه رزقه وأمن الفتان
“Berjaga-jaga di jalan Allah dari
musuh dalam sehari semalam lebih baik daripada puasa sebulan yang
disertai shalat tahajjud. Dan kalau dia mati dalam menjalankan tugas
tersebut, maka pahalanya akan terus mengalir untuknya dari amal yang
telah dia lakukan sebelumnya dan mengalir rezekinya (di kubur) dan dia
aman dari adzab kubur.”[3]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
غدوة في سبيل الله أو روحة خير من الدنيا وما فيها
“Berpagi-pagi dalam menjalankan tugas
di jalan Allah atau bermalam-malam di jalan Allah, lebih baik daripada
dunia dan seisinya.” (HR Bukhari dan Muslim)[4]
Oleh sebab itu hendaknya para Syaikh dan
para muridnya bersegera dalam mengerjakan amal-amal shalih dan
berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan dan hendaklah jangan sampai
lalai dari nasehat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
bersabda:
إغتنم خمسا قبل خمس: حياتك قبل موتك، وصحتك قبل سقمك، وفراغك قبل شغلك، وشبابك قبل هرمك، وغناك قبل فقرك
“Jagalah lima perkara sebelum datang
lima perkara: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu
luangmu sebelum kesibukanmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, masa kayamu
sebelum masa miskinmu.”[5]
Dan hendaklah mereka mau mendengar hadits berikut ini:
قيام ساعة في الصف للقتال في سبيل الله خير من قيام ستين سنة
“Berdiri sesaat di dalam barisan tentara dalam suatu peperangan di jalan Allah, lebih baik daripada berdiri enam puluh tahun.” (HR Ahmad, Hakim dan Darimi)[6]
Imam Syafi’i menyatakan, “Kaum muslimin
bersepakat bahwa Barangsiapa yang beramal dengan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak boleh dia meninggalkan karena
pendapat seseorang.”
[1] Al Aqd Al Yaqutiyah, h.104
[2]
Diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, Al Musnad, 1;61, 64, At Thabrani,
(Mu’jam Al Kabir, 1;91) Al Baihaqi dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim
dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Al Hafidz adz-Dzahabi mengatakan,
Isnadnya hasan. Lihat Fath Rabbani, 1;95, Muhtashar Muslim no 1075.
Yang benar hadits ini adalah dha’if sanad, tetapi karena
banyaknya riwayat shahihah yang serupa bisa dinyatakan bahwa maknanya
shahih. Hadits ini diriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir oleh Al Hakim,
Al Mustadrak, 2;91, dari Uqbah bin Amir Al Juhni oleh Ibnu Majah, As Sunan, 2;925
[3] Hadits Shahih, diriwayatkan dari Salman oleh Muslim, Ash Shahih, 3;1520, Ahmad, Al Musnad, 5;441, Ibnu Hibban, Shahih, 10;483
[4] Hadits Shahih, diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d As Sa’idi oleh Bukhari, Ash Shahih, 3;1029, 1059, 5;2358, Muslim, Ash Shahih, 3;1500, At Tirmidzi, As Sunan, 4;188, ad-Darimi, As Sunan, 2;267, Ahmad, Al Musnad, 3;433, 5;339. Diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh Bukhari, Ash Shahih, 3;1028, 1029, 5;2401, At Tirmidzi, As Sunan 4;181, Ahmad, Al Musnad, 3;141,153, 157,207,263. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh At Tirmidzi, As Sunan, 4;180. Diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Ahmad, Al Musnad, 2;533. Dan diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Khudaij oleh Ahmad, Al Musnad, 6;401.
[5] Hadits Shahih, diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Al Hakim, Al Mustadrak, 4;341, Al Baihaqi, Syu’ab Iman, 7;263, dan diriwayatkan dari Amr bin Maimun oleh Al Qudla’I,Musnad asy-Syihab, 1;425, Ibnu Mubarak, az-Zuhd, 1;2, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7;77. Lihat juga pada shahih Al Jami’ Ash Shaghir, no hadits 10088.
[6] Hadits ini disebutkan di dalam Al Jami’ Ash Shaghir oleh As Suyuthi, dinyatakanshahih oleh Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, Al Albani, nomor hadits 4305. Semakna dengan hadits tersebut tetapi lafalnya lain diriwayatkan dengan sanad hasan dari Imran bin Hushain oleh Al Hakim, Al Mustadrak, 2;78, ad-Darimi, As Sunan, 2;266, Baihaqi, Sunan Kubro, 9;161, At Thabrani, Mu’jam Al Ausath, 8;305,Mu’jam Al Kabir, 8;216, 18;168, 180, Abdurrazzaq, Al Mushannaf, 5;259, Al Bazzar, Al Musnad, 9;9, Ahmad, Al Musnad, 5,266.
Posting Komentar